Sore ini hujan tidak sedingin biasanya. Mungkin karena hangat senja, mungkin karena senyum di bibirmu, atau mungkin juga karena kau izinkan aku membelai lembut rambutmu. Aku tidak tahu pasti.
Satu yang pasti, aku bahagia menatap hujan dari balik jendela. Bersamamu.
***
Aku masih akan menyebutnya kenangan, hingga kita kelak dipertemukan oleh rindu yang tak berkesudahan. Sesekali kau mungkin coba sembunyikan, atau memilih melawan, sementara aku tenggelam dalam ingatan, bertahan dengan satu alasan. Seperti hujan, bagiku kau tetap menyejukkan.
***
Aku suka lupa ingatan, bahwa kau sering datang tanpa ada bau kenangan, seolah kau tetap dalam pelukan. Begitulah saat sepi harus diaksarakan, tak peduli apa yang orang lihat sebagai kenyataan, sebab rindu kini sederas hujan.
***
Adalah kali pertama aku mendengar tawamu, mengalir lembut menyentuh kalbu.
Kali pertama kau hadir dalam mimpi, sesaat sebelum kau membangunkanku esok pagi.
Kali pertama aku melihatmu sebagai malam, hanya pada matamu bintang-bintang itu tenggelam.
Tenanglah, pada punggung awan namamu telah ku sembunyikan, maka saat turun hujan, namamu akan suburkan ladang-ladang harapan.
Tidurlah! Aku pun akan tidur, pada lapang dadamu.
***
Aku terus menuang rasa pada cangkir yang kau pecahkan. Kerinduan pasti dan perlahan beku. Kenangan mengapung di tengah hujan, menggulung lalu menghujam dada. Mimpinya remuk redam dan mati, antara siang menuju malam.
D.S.R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H