Pada Suatu malam yang begitu sunyi, aku bercerita pada air mata yang menetes penuh harap.
Entah harus dari mana aku memulai. Sunyi dan tetesan air mata ini sungguh membuatku linglung, bahkan tawaku sendiri rasanya amat sukar untuk aku kenali.
Aku tidak sedang jatuh cinta, hanya sedang berusaha mempertahankan seseorang yang membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya.
Namanya Gandis, kita dipertemukan oleh harapan yang sama akan masa depan yang lebih cerah. Dia wanita yang begitu membenciku, baginya aku tak ubahnya sampah busuk yang bahkan dari jauh sudah bisa membuatnya menahan muntah. Aku masih ingat betul sorot matanya saat pertama kali kita dipertemukan. dia duduk tepat di depanku, sembari menebar senyum bersahabat matanya mengitari seluruh isi ruangan mengenali satu demi satu, mencari mana yang sekiranya baik untuk jadi temannya.Â
Sampai pada akhirnya matanya melewati mataku, tiba-tiba aku kehilangan senyum bersahabat itu, aku sempat menunggunya, namun bukan senyum itu yang aku dapatkan, melainkan tatapan penuh prasangka. Sepertinya kebencian itu mulai meracuni otaknya. Sungguh kesan pertama yang memancing hasrat untuk bisa menganalnya lebih jauh. tak disangka dia berhasil menyimpan kebencian itu selama berbulan-bulan.
Pada suatu kesempatan yang aku yakin betul dapat menghapus kebencian yang terlanjur bersarang di hatinya, aku mengajaknya ngobrol. Dengan wajah polos aku memulai pembicaraan, aku bertanya "kamu asli mana?" Aku tak menanyakan namanya, karena pada saat itu aku sudah hafal nama panjangnya. sembari berjalan menuju tangga di pojok gedung tempat kita memperjuangkan masa depan, dia menjawabku lirih, matanya seolah berkata "apaan sih nanya-nanya". Aku membalasnya dengan senyuman paling manis yang dapat aku hasilkan dari bibirku yang tak seindah bibirnya.
 Soal goda menggoda katanya aku jagonya. Aku tak pernah berhenti menggodanya, setiap ada kesempatan, aku selalu menfaatkan untuk memancing senyum manisnya keluar. Jika pun kesempatan itu tidak ada, aku ciptakan kesempatan itu. Namun, apapun yang aku lakukan sepertinya sia-sia, tidak sekalipun aku dapatkan senyum yang aku impikan itu. Saat aku hampir menyerah, tiba-tiba aku tersadar bahwa aku sedang berhadapan dengan wanita yang tidak biasa-biasa saja. Senyumnya yang teramat mahal menggambarkan betapa kuatnya wanita ini. Bahkan penggoda ulung sepertiku tak mudah untuk menembusnya. Sungguh wanita yang layak diperjuangkan.
Ternyata takdir berkata lain, betapa pun besarnya kebencian yang ada di hatinya, betapa pun kokohnya dinding yang dia bangun, toh akhirnya rencana Tuhan tidak pernah bisa kita umenolaknya. Menembus watakmu yg keras, melewati sorot matamu yang penuh amarah, ketulusan akhirnya membawa aku yang begitu kau benci masuk jauh ke dasar hatimu, menghapus segala bentuk kebencian dan prasangka, hingga akhirnya yang tersisa hanya cinta dan rasa nyaman yang belum pernah kau dapatkan. Bahuku yang keras dan penuh tulang menjadi tempat paling nyaman untuk melepas letih dan keluh kesahmu. Begitulah cinta.
Akhirnya sayang, aku tidak pernah bosan untuk mengajakmu berjuang bersamaku, mempersiapkan apapun yang kita butuhkan di masa depan. Kemudian, cium tanganku di depan penghulu, maka akan ku kecup keningmu.
#GOTW
Ditulis dengan cemas, Surabaya, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H