Kedua, hambatan struktural berupa kebijakan yang tidak memihak penyandang disabilitas. Persoalan ini dimulai dari lemahnya pemahaman pemangku kepentingan untuk memenuhi hak dan kebutuhan seluruh ragam disabilitas. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan aksesibilitas terpinggirkan dari rencana prioritas program yang berpengaruh pada alokasi anggaran dana hingga tahap implementasi kebijakan. Ketiga, buruknya tahap perencanaan mengakibatkan penyediaan aksesibilitas tidak tepat guna.Â
Dapat dijumpai beberapa bangunan telah memiliki kelengkapan aksesibilitas fisik, akan tetapi tidak didesain sesuai standar yang berlaku sehingga fasilitas tersebut sulit diakses bahkan justru mengancam keselamatan penggunanya.
Sebagai ilustrasi, Â adanya ramp yang tidak layak digunakan oleh pengguna kursi roda karena kemiringannya sangat curam dan licin. Selain itu, keberadaan lift di gedung-gedung perkantoran tidak dilengkapi petunjuk suara hanya akan menyulitkan disabilitas netra. Kontestasi dalam mengakses ruang publik menjadi semakin nyata bagi disabilitas saat berhadapan dengan kondisi aksesibilitas yang tidak memadai untuk beraktivitas sehari-hari. Â
Komitmen bersama Â
Kompleksitas tantangan ini mengingatkan bahwa perlu adanya penanganan serius secara kolektif dari pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Sesuai dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11, keterlibatan semua pihak dibutuhkan untuk mendorong percepatan dalam membangun kota inklusif. Pemerintah sebagai aktor utama perlu melakukan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah perlu melibatkan masyarakat melalui perwakilan penyandang disabilitas untuk berkontribusi dalam proses pembuatan kebijakan.Â
Keterlibatan penyandang disabilitas yang ahli di bidangnya dapat membantu pemerintah untuk menghasilkan kebijakan sesuai perspektif dan kebutuhan ragam disabilitas. Selanjutnya, pemerintah dapat bekerja sama dengan sektor swasta maupun komunitas disabilitas dalam rangka menciptakan inovasi teknologi aksesibilitas.
Sebagai contoh, menyediakan peta informasi ruang-ruang publik seperti taman literasi dengan dilengkapi aksesibilitas dan sensor suara yang tak hanya dinikmati oleh disabilitas netra tetapi bermanfaat untuk pembelajaran pendidikan bagi pelajar. Selain itu, mendorong setiap perusahaan untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi seluruh ragam disabilitas. Sejumlah gagasan tersebut dapat diwujudkan dengan menempatkan isu disabilitas sebagai program prioritas dan menjadi komitmen semua pihak dalam menciptakan kota lebih inklusif.
Referensi
Jurnal
Lawson, A., Eskyt, I., Orchard, M., Houtzager, D. and De Vos, E. L. (2022) "Pedestrians with Disabilities and Town and City Streets: From Shared to Inclusive Space?", The Journal of Public Space, 7(2), pp. 41--62. doi: 10.32891/jps.v7i2.1603.
Pineda, V. S. (2022), "What is Inclusive and Accessible Public Space?", The Journal of Public Space, 7(2), pp. 5--8. doi: 10.32891/jps.v7i2.1607. (AKSES https://www.journalpublicspace.org/index.php/jps/issue/view/80)
Website
Berkeley  Disability Access & Compliance, 2022 "Universal Design Principles" diakses melalui https://dac.berkeley.edu/services/campus-building-accessibility/universal-design-principles
Bappenas, 2022, "11. Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan" diakses melalui website  https://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-11/
KataData, 2021 "Data jumlah penyandang disabilitas" diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/tags/disabilitasÂ