Mohon tunggu...
Idrus Dama
Idrus Dama Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Puisi

Idrus Dama, putra kelahiran Gorontalo yang bekerja sebagai kuli literasi di Forum Lingkar Pena Wilayah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Nelayan Hingga Sarjana Muda

3 Agustus 2015   00:52 Diperbarui: 3 Agustus 2015   00:52 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi, jalan mimpinya dimudahkan. Modal 10 ribu rupiah, dia bisa tercatat resmi menjadi santri di Madrasah Aliyah. Selama 2 tahun dia berhasil menduduki posisi Osis : Satu tahun menjadi Sekretaris dan satu tahunya menjadi Ketua. Hal ini kemudian membuat kepala Madrasah mengratiskan biaya sekolahnya selama dua tahun pula. Pada tahun 2010, dia pun tuntas belajar dari Madrasah Aliyah.

Mimpi kuliah semakin melangit dan membiru di hatinya. Apa mau dikata. Maksud hati ingin memeluk bulan, sayang tangan tak sampai. Kira-kira itulah pepatah yang sepadan dengan nasibnya kala itu.

Jangankan untuk kuliah, makan sehari-hari saja keluarganya sudah tenggelam dalam pilu nan haru. Kadang keluarganya sarapan dengan pepaya, makan siang dengan pepaya, dan makan malamnya juga dengan pepaya. Ya, kondisi itu pernaah terjadi pada keluarga kecil itu, di musim timur, dimana ombak sedang mengamuk. Nelayan ketika itu sungguh tak bisa melaut. Terasa rejeki mereka ditutup rapat.

Alhasil, cara satu-satunya bertahan hidup, satu keluarga itu, adalah makan pepaya yang hidup tak sengaja di kebun belakang rumah kecil. Meskipun demikian, tak pernah hati mereka meratap-ratap ingin dikasihani. Sebab, harta boleh tak punya, tapi harga diri adalah perhiasan satu-satunya yang dijunjung tinggi oleh keluarga kecil itu.

"Tak baik menghinakan diri. Meratap itu adalah mengingkari nasib." Mungkin begitu kata yang tepat untuk ditempelkan pada prinsip hidup mereka.

Tahun 2010, anak itu meluruskan niat. Dia utarakan mimpinya untuk kuliah. Diajaknya keluarga bermusyawarah. Duduk sejajar, serapat, guna saling junjung satu sama lain. Keluarga ternyata tak bisa jadi harapan.

Sampai pada satu putusan, demi mimpi kuliah, lemari satu-satunya milik keluarga harus melayang. Tak ada lagi benda berharga di rumah, selain jala ikan dan mesin katintin. Diskusi keluarga pun semakin meruncing.

"Kalau mo jual mesin, didu'u pohongi. Wanu bo lamari, debo ogandia. Lebe baye lamari upotaliya. " begitu nasehat ayahnya.

Lemari itu pun dijual seharga 750 ribu. Apakah itu bisa mengantarkan kuliah? tak ada dalam pikirannya untuk mundur, apalagi mau memenjarakan cita-citanya. Dia berangkat ke kampus, bermodalkan niat belajar.

"Kalau memang tidak bisa kuliah, setidaknya sebelum saya mati, saya sudah pernah dapa lihat itu kota dan Universitas Negeri Gorontalo. " Rutuknya.

Setelah mengikuti seleksi sebagaimana mestinya, diputuskan pembayaran uang kuliah awal 5,7 juta. Mana punya dia uang sebanyak itu. Kalau sebutan ratusan ribu, barulah dia punya. Wajah anak itu itu kembali murung, meredup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun