Mohon tunggu...
Idrus Dama
Idrus Dama Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Puisi

Idrus Dama, putra kelahiran Gorontalo yang bekerja sebagai kuli literasi di Forum Lingkar Pena Wilayah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Nelayan Hingga Sarjana Muda

3 Agustus 2015   00:52 Diperbarui: 3 Agustus 2015   00:52 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2004, adalah masa kegelapan bagi anak itu. Dia tak lagi bisa menjaga mimpinya agar tetap abadi. Sebab, statusnya sudah  kutukan, menjadi nelayan seumur hidup.

"Tidak ada satu pun keluarga kita yang berpendidikan. Semuanya nelayan. Buat apa ngana mo sekolah?" begitu dulu ayahnya mengingkari nasibnya.

Anak itu hanya bisa tersenyum. Gemuruh mimpinya tetap beriak di dalam sanubarinya. Dia tetap menguat-nguatkan diri, mempertebal harapan dan imannya, dengan subuah azzam yang kuat :

"Jika takdir saya lagi baik, pasti tidak ada alasan untuk Tuhan menutup jalan perjuangan saya." bisik anak itu dalam hati.

Menjadi Nelayan. Setahun berlalu anak itu sudah seperti Gembel. Wajahnya hangus terbakar terik matahari, alis matanya memudar, rambutnya makin keriting dan kusam, hidungnya kempis,dan wajahnya semakin tirus. Begitulah anak nelayan, sulit nampaknya punya badan gemuk nan sehat.

Sebelumnya, anak itu pernah menempuh studi di sekolah Menengah Pertama di Tilamuta. Karena ekonomi keluarganya sedang terpuruk, suka atau tidak, dia pun harus menopang keluarga dengan menjadi nelayan. Sejak itu, lupalah dia soal bangku sekolah, soal mimpi dan harapan, soal masa depan yang hanya menjadi khayalan.

Tapi, sekali lagi. Status nelayan tak lantas  meniup mati lentera hatinya, juga mimpinya. Dia tangkupi lentera mimpi itu, dia jaga agar tetap bersinar, hingga Allah kemudian memberinya cahaya yang tak disangka-sangka.

Seorang guru Sekolah Dasar menawarinya untuk melanjutkan studi, di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tilamuta. Dia ditawari beasiswa Retrival, yakni beasiswa untuk anak-anak putus sekolah. Dengan jaminan, akan disekolahkan hingga tamat, gratis semuanya: seragam, buku, tas, sepatu hingga karet penghapus. Semuanya lengkap, dan sedia otak untuk belajar.

Hati anak itu kembali mekar. Tadinya sempat melayu selama setahun. kini dia kembali bersemi. Dia tangkap peluang itu. Dia menghiba pada kedua orang tuanya, bahwa dia ingin memutus mata rantai kemiskinan. Berjuang kembali.

Gayung pun bersambut, permohonannya dikabulkan kedua orang tuanya. Dia menempuh studi di Madrasah Tsanawiyah, dan tepat tahun 2007, anak itu menutaskan proses belajarnya dengan predikat membahagiakan. Berbagai prestasi diraih, hingga kabar itu menyeruak ke kampung. Si anak nelayan bisa juga bersekolah.

Tak sampai di situ, dia pun mulai bermain dadu nasib, melanjutkan pendidikan ke jenjang Madrasah Aliyah Negeri Tilamuta. Sebab, disanalah hatinya terpaut. Dia ingin mendalami ilmu agama. Kelak, di kemudian hari tak bisa kuliah, sedikitnya dia bisa menjadi Imam, atau khotib kampung. Begitulah pikirannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun