Tetapi seseorang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dan merasa benar sendiri, bahkan melemahkan orang lain maka ia sendiri akan menjadi orang yang lemah sehingga ia termasuk ke dalam golongan asfala sfilin. Dan yang membedakan antara khaira ummah dan asfala sfilin adalah ilmu pengetahuan.[3]
Dialog yang Memerdekakan
Uraian di atas memberi pemahaman bahwa lembaga pendidikan diharapkan dapat merdeka dan memerdekakan sehingga berbagai kritik akan berkurang. Uraian berikut bertujuan menemukan upaya lahirnya lembaga pendidikan yang memiliki daya saing yang tinggi dalam merespon pasar global kedepan.
Dalam sejarahnya, hubungan pemerintah terhadap lembaga pendidikan dapat berpengaruh besar terhadap kemerdekaan\kemandirian suatu lembaga pendidikan. Pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia yang baru saja berlalu ternyata dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik. Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung sebagai "sabda pandita ratu" yang mesti harus dilaksanakan oleh daerah-daerah.
Hal ini dapat ditunjukkan antara lain sejak kemestian memakai pakaian seragam sampai hal-hal yang menyangkut kurikulum. Sistem yang demikian cenderung menjadikan "keseragaman" sebagai tujuan. Hasil kebijakan yang demikian adalah manusia-manusia yang bermentalitas 'juklak" dan "juknis" menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Akibat lebih jauhnya akan melahirkan manusia yang memiliki mentalitas yang selalu dalam bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga harus patuh dan tunduk pada perintah yang ada, betapapun anehnya perintah tersebut.
Akan tetapi, pendidikan yang terlalu birokratis sentralistik di atas dapat menimbulkan dampak negatif bagi proses pendidikan itu sendiri dan bagi masyarakat umum. Dampak yang paling mencolok adalah berkembangnya mentalitas "jalan pintas" dalam dunia pendidikan. Selain itu, semakin lama semakin dirasakan bahwa praktik pendidikan cenderung memunculkan generasi terdidik yang bersifat materialistik.
Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari penerapan praktik pendidikan yang mementingkan ekonomi. Mentalitas "jalan pintas", yakni semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin tanpa harus mengeluarkan pengorbanan yang setimpal, merupakan salah satu hasil dunia pendidikan dengan kondisi politik dan sosial yang birokratis sentralistik.
Faktor lain yang mendorong munculnya watak materialistik dan jalan pintas tersebut adalah adanya tekanan kemiskinan, lebih-lebih ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Efek kebijakan yang birokratis sentralistik tersebut membuat manusia tidak merdeka yang cenderung jadi budak dalam sistem yang tidak memerdekakan.
Budaya kritik penting dibangun, hanya saja, upaya membuka kesadaran kritis ini sering dipahami oleh pihak penguasa sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Pendidikan model ini merupakan pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Model Pendidikan di atas adalah adalah konsep pendidikan ala gaya bank yang telah dipraktekkan oleh para pendidik dalam proses belajar mengajar, bahkan lebih dari itu, pendidikan gaya bank telah mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir serta tidak munculnya kesadaran kritis pada diri peserta didik.