Aku berjalan mengitari kota metropolitan "Katanya". Menuju sebuah perkampungan yang dihalangi oleh dinding-dinding tinggi dari ruko dan gedung- gedung perkantoran Jakarta Selatan.Â
Memasuki sebuah gang kecil berukuran 4 meter, yang hanya muat dengan 1 kendaraan sejauh 10 meter ke depan. Menuju ke pusat perkampungan 200 meter ke dalam yang dikenal dengan sebutan, " Kampung Pemulung Pancoran".
Sesampainya di sana, kulihat wajah - wajah dan aktivitas masyarakat yang terhalang oleh bangunan-bangunan tinggi menjulang. Sebuah kehidupan yang mungkin tidak perna kita pikir ada di perkotaan yang kita anggap sudah metropolitan.Â
Semakin dalam aku masuk, bertegur sapa dengan mereka. Semakin kutau, kita belum sepenuhnya merdeka. Masih banyak saudara-saudara kita yang berada di garis kemiskinan dan bahkan dibawahnya. Yang memerlukan uluran tangan dan bantuan kita.Â
Ada dan bahkan banyak anak-anak yang harus rela mimpinya untuk bersekolah pupus demi membantu orangtua. Dan ada juga kutemui seorang nenek tengah menarik gerobak berisikan manusia yang tak lain adalah cucu-cucunya.
Yang dimana gerobak tersebut biasa ia dan suaminya pakai keliling mencari barang bekas untuk menyambung hidup mereka hari ke hari.Â
Beliau bilang cucunya menangis karena lapar dan beginilah cara untuk menenangkan mereka. Ayah dan ibu mereka sudah berpisah, kini tersisa ibunya yang tengah bekerja memulung juga.Â
Kulihat wajah polos itu, yang masih belum mengerti dunia. Tapi ternyata dunia sudah mengambil separuh kebahagiaan di hidup mereka. Dari orang tua, perekonomian dan sebagainya.Â
Mendengar mereka menangis, adalah bentuk kegagalan kita sebagai manusia. Yang tidak bersyukur dengan apa yang kita punya, disaat masih banyak manusia lain yang menderita namun tetap bisa mensyukurinya.Â
Setelah itu ku lanjutkan lagi perjalanan, menyusuri gang - gang, mengitari perkampungan yang dimana sebagian besar pengepul barang rongsokan. Sampai akhirnya ku putuskan beranjak, berpamitan dan meninggalkan perkampungan yang memberikanku hikmah dan pembelajaran.Â
Masih banyak orang yang lebih susah dari kita, tapi mereka tetap bisa mensyukurinya dengan cara sederhana. Tidak merendahkan diri kepada yang berpunya, lebih giat bekerja walau dengan seadanya.Â
Uang yang dikumpulkan tidak menjadikan mereka kaya, tapi cukup untuk makan saja sudah "Alhamdulillah". Jauhnya perjalanan menarik gerobak tidak menjadikan masalah, karena mereka di tuntut untuk hasil sempurna dengan keadaan gerobak penuh sewaktu di bawah pulang ke rumah.Â
Tangisan mereka adalah bentuk kegagalan kita menjadi manusia, karena tidak bisa memanusiakan mereka dan lebih memandang mereka sebelah mata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H