Mohon tunggu...
Idris setiawan
Idris setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pencinta Keheningan

Dari hidup kita belajar berjuang. Dan dari Tuhan kita belajar iklas. Tak ada perhentian yang akan indah selain mati dengan bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menaruh Hati pada Bidadari

19 April 2020   23:39 Diperbarui: 20 April 2020   00:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada habisnya bila bicara tentang rasa atau perasaan suka terhadap mahluk teranggun di dunia, yaitu wanita. Entahlah aku pun masih bingung? Mungkinkah ini benar ketulusan suka, atau malah sebuah jebakan atau bisikan setan saja. 

Malam ini ku lihat begitu gelap, dengan keramaian ibu kota yang di padati oleh suara kendaraan. Kopi ini hampir habis? Aku butuh cerita agar bisa menikmati kopi ini menjadi lebih terasa. 

Kembali ku buka handphoneku yang dari tadi hanya terletak mati di atas meja kedai pak heri. Laki-laki paruh bayah yang di tinggal mati oleh istrinya dan hanya hidup berdua oleh anak bujangnya.

"Mas, mau tambah lagi kopinya?" Tegur julian anak pak heri.

"ah gak jul. Ini sudah cukup untuk menghabiskan malam. Heheh" jawabku sambil tertawa.

Julian adalah anak pak heri satu-satunya, masih sekolah di bangku kelas 3 SMA, memiliki postur tubuh laki-laki ideal dengan gaya rambut di belah tengahnya. Bisa menjadi cover boy masa depan menurutku. Dan yang ku suka dengan julian adalah dia berbakti dengan ayahnya, dan rajin membantu di kedai bila sudah sepulang sekolah. Di tambah anaknya juga sopan, dan suka bercanda. Menjadikan suasana kedai hidup menurutku.

 "Malam ini dingin ya mas?" Tanya julian yang duduk di sebelahku sehabis mengantarkan pesanan. 

 " gak juga si jul. Oh ya, Bagaimana sekolahmu?"

 "Ah begitulah mas, mas tau sendiri? Kalo udah mendekati Ujian Nasional, ya pasti banyak tugas-tugas tambahan."

 "Ooh. Ya sabar aja. Kamu pasti bisa kok. Bila sudah lulus nanti? Kamu bisa lebih banyak bantu bapak kamu di kedai."

 "Iya mas. Aamiin. Semoga saya bisa melewati UN dan Lulus mas."

 "Aamiin"

  Kami berdua pun terpaku menatap wajah langit malam. Benar-benar gelap, tanpa berbintang. Bahkan bulan pun enggan menampakkan wajahnya. 

 "Oh ya mas. Denger dari bapak, mas candra udah bubaran sama pacarnya yah."

 "Hm.. ia jul." Sembari menghela nafas, dan mengangkat cangkir kopi.

 "Yang sabar mas ya? Mungkin bukan jodoh."

 "Terima kasih jul. Ia mungkin bukan jodoh mas."

 "Oh ya mas. Kalo boleh cerita, julian lagi suka sama cewek mas."

 "Hm.. terus?" Tanyaku sembari meletakkan cangkir dan menoleh ke arah julian.

 "Ya begitu mas. Julian malu. Dia anaknya cantik mas, bukan cuman julian aja yang suka sih? Bahkan ada temen sekelas julian juga suka sama dia."

 "Hm..! Kamu udah coba kenal dulu sama dia?" Tanyaku.

 "Udah lah mas. Dia itu temen cewek sekelas julian. Hm.! Sebenernya bukan masalah cantiknya yang membuat julian suka. Tapi, hatinya dan anaknya rajin ibadah mas."

 "Terus kenapa kamu takut? Buat ngungkapin rasa suka kamu?"

 "Hm.! Takut di tolak mas. Tentunya takut malu juga mas." Jawabnya sembari menundukkan kepalanya. 

 "Yasudah. Kamu harus pokus ke sekolah dulu. Nanti misalnya kamu udah tamat? Dan kerja. Bakal ada cewek yang pas bakal menjadi istri kamu. Inshaallah, mas yakin kok jul. Sebab itu, kamu harus lulus dulu. Dapetin Ijaza SMA." 

 "Oh iya mas. Terima kasih. Yaudah mas, saya kesana dulu? Bapak udah manggil"

 "Iya jul." 

 Julian pun beranjak dari tempat duduknya. Sebenarnya aku pun bingung, harus kasih saran apa di cerita mengenai cinta si julian. Tapi, menurutku jau lebih baik dia mempokuskan untuk sekolahnya dulu. 

 "Berasa makluk paling benar aku ini!" Tawaku dalam hati. Balik lagi ke cerita julian, mungkin seperti itu juga yang sedang ku rasa saat ini.

 Setelah 3 bulan ku lewati hidup tanpa kehadiran sari. Aku tetap berjuang dan berdiri menapaki jalanku. Bahkan aku juga sempat kenal dan bisa di bilang suka oleh seorang wanita. 

  Wanita itu tina, bahkan lebih dulu ku kenal tina dari pada sari. Tapi sayang? Aku yang tak berani tuk bilang suka padanya. Yang pertama, karena dia adalah keponakkan dari temanku. Dan dia sudah ku anggap seperti adikku sendiri. 

   "Bila ingin di bandingkan? Aku melihatmu, bagaikan langit dan bumi. Kau langit dan aku bumi. Kau berada jauu di atas, sementara aku di bawah hanya bisa memandang. Kau terlalu sempurna, bahkan tak ada cacat menurutku.
Sedangkan aku? Hanya penikmat perjalanan kehidupan. Yang sering terombang ambing dan terbentur terumbu karang.  Kadang tubuhku luka, namun hanya bisa menerima. Sama halnya mengenalmu?
Aku pun harus pasrah.
Mana akan berani mulutku untuk bilang? Bolehkah aku lebih mengenalmu." 

  puisi yang perna ku buat untuk tina, tapi tak perna tersampaikan.

 .......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun