Menurut Mufid, paling tidak ada empat hal mengapa demokratisasi penyiaran menjadi sulit.
1. Secara makro, konstelasi dunia pasca perang Dingin begitu kondusif bagi ekspansi kapitalisme. Media yang pada awalnya lebih sebagai entitas informasi dan propaganda, sejak tahun 1980-an berkembanag menjadi entitas bisnis transnasional. Disamping adanya tekanan dari IMF, World Bank dan terutama Pememrintah AS terhadap dunia untuk melakukan deregulasi dan privatisasi terhadap media, ekspansi liberalisme juga didukung oleh kemajuan teknologi satelit dan digitalisasi.
2. Pada tataran indonesia kekinian, walaupun secara formal rezim orde baru telah lewat, namun kekuatan lingkar Cendana dalam penyiaran masih berakar kuat. Sebagian besar modal televisi swasta misalnya, masih terkait erat dengan kalau tidak dikuasai oleh keluarga cendana atau orang-orang yang dekat dengan Cendana. Persekongkolan saling menguntungkan antara kroni kapitalis lokal dan kapitalis transnasional akan berimpliksi pada keberlakuan logika akumulasi modal yang akan menentukan hal-hal apa saja yang mestinaya dikesampingkan, the logic accumulation and exclusion.
Atas dasar logika ini, maka modal akan mendikte dunia penyiaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu diangkat sehingga menguntungkan baik dalam bentuk akumulasi ekonomis maupun surplus privilage sosial untuk pemodal dan golongannya, seklaigus melembagakan sensor diri (self-sensorship) isu-isu krusial apa saja yang perlu tidak diangkat atau palinng tidak mengemas isu tersebut sehingga tetap mengungkan pemodal dan kelompoknya.
3. Pemerintah pada titik tertentu belum siap untuk kehilangan sama sekalai kekuasaan untuk mengontrol media. Media bagaimanapun juga merupakan sarana efektif bagi pembentukan opini sekaligus menjadi perangkat sosialisasi kebijakan. sebelum RUU penyiarann disahkan (melaui menteri Negara Komunikasi dan Informasi) bersikukuh untuk memonopoli keweanagan izin frekuensi lembaga penyaiaran (Kompas 11 juli 2002). Secara legal formal pemerintah mendasarkan sikap tersebut pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi. Undang-undang yang disebut terakhir ini secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menngatur frekuensi.
4. Ketiga faktor tersebut secara dialektis dan sistematis mempersempit ruang gerak kelompkok-kelompok civil society (seperti insan media, akedemisi, dan publik) yang menginginkan keterbebasan media dari negara (penguasa) dan kediktaoran pasar (kapitalis). Bagi kelompok ini, karena penyiaran menggunakan spketrum frekuensi radio yang nota bena merupakan tanah publik yang pengelolaannya dikuasai oleh negara, maka aktivitas media penyiaran sudah semestinya mengorientasikan diri pada pemberdayaan publik.
Dari ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa media massa termasuk televisi telah mengkonstruk realitas tersendiri dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Peran media sebagai alat yang mampu membentuk opini publik tidak bisa dinafikan keberadaannya. Di alam demokrasi sekarang ini media massa mendapat ruang yang lebih luas, namun harus berhati-hati dengan era keterbukaan ini karena sangat memungkinkan ideologi dan kepentingan "titipan" melakukan proses hegemoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H