Mohon tunggu...
idris apandi
idris apandi Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Bacaan dan tulisan.

Hobi membaca, menulis, dan traveling.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bahan Bacaan Ramah Cerna Anak

2 November 2022   00:49 Diperbarui: 5 November 2022   06:45 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Anak-anak membaca buku. (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Oleh: IDRIS APANDI (Penulis Buku Literasi atau Mati)

Dalam sebuah webinar literasi, saya mendengar seorang narasumber menyampaikan bahwa salah satu upaya atau strategi meningkatkan minat dan aktivitas membaca peserta didik di sekolah tempatnya bertugas adalah dengan memfasilitasi peserta didik dengan bahan bacaan yang ramah cerna. 

Maksudnya adalah bahan bacaan tersebut disesuaikan dengan perkembangan dan tingkat kemampuan berpikir peserta didik. Misalnya bahan bacaan untuk peserta didik SD kelas rendah (I, II, dan III) tentunya berbeda dengan peserta didik SD kelas tinggi (IV, V, dan VI) baik dari sisi tema/topik bahasan, sistematika, tampilan, jenis huruf, ukuran huruf, spasi, karakter gambar ilustrasi, warna gambar ilustrasi, dan lain-lain.

Tidak setiap penulis bisa menulis buku anak. Hanya penulis yang memiliki kompetensi, spesialisasi, dan passion yang tinggi dalam menulis buku anak yang bisa melakukannya dengan baik. 

Bahkan ada pendidikan khusus yang ditujukan untuk penulis buku anak. Bahan-bahan bacaan yang cukup menarik perhatian peserta didik, khususnya di jenjang SD biasanya buku-buku fiksi seperti buku cerita pendek (cerpen), dongeng, fabel, buku sains yang dikemas dengan menggunakan cerita, dan buku-buku penunjang/suplemen pembelajaran yang dikemas dengan gaya penulisan yang sederhana.

Hal yang ditulis di atas adalah sebuah kondisi ideal sebuah buku bacaan untuk peserta didik, khususnya peserta didik SD. Walau demikian, pada kenyataannya, saya pernah menemukan buku paket kelas I SD yang menurut saya kurang sesuai dengan kondisi dan tingkat perkembangan berpikirnya. 

Saya kebetulan punya anak kelas I SD. Saat itu, anak saya menyodorkan PR tema/mata pelajaran PPKn dari gurunya. Dia meminta saya untuk membantu mengerjakannya.

Saat membacanya, saya merasa terhenyak, karena anak kelas 1 SD yang membaca pun belum bisa harus mengerjakan PR yang isinya kalimat yang panjang-panjang, ukuran hurufnya kecil (12 point), dan spasinya 1 spasi. 

Dan parahnya lagi, pada PR tersebut anak diminta untuk menjawab soal yang berbentuk pernyataan positif dan pernyataan negatif dengan pilihan YA dan TIDAK. Untuk menjawabnya tentunya diperlukan kemampuan berpikir kritis dari anak tersebut.

Anak tersebut boro-boro bisa mencerna atau memahami maksud dari soal-soal tersebut, membacanya saja belum bisa. Saya tidak habis pikir, apa yang menjadi pertimbangan penulis buku tersebut, baik dari sisi teori pedagogik, teori psikologi perkembangan, maupun teori kepenulisan sehingga menulis materi dan soal-soal yang begitu kompleks bagi peserta didik SD kelas I. 

Mengapa buku yang tidak ramah untuk mata dan ramah cerna bagi anak kelas I SD bisa diizinkan beredar dan digunakan di SD? Bukanlah konsep pembelajaran bagi anak SD adalah dari hal yang sederhana kepada yang rumit, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dari hal yang konkrit kepada hal yang abstrak? 

Saya kira ini adalah hal yang fundamental yang harus dipahami oleh penulis buku bagi anak SD dan bagi guru SD.

Akibatnya, yang mengisi PR tersebut bukan anaknya, tetapi orangtuanya karena anaknya belum bisa membaca. Hal tersebut sebenarnya kurang baik. 

Tugas orangtua sebenarnya untuk mendampingi dan membimbing anaknya mengerjakan PR, bukan mengerjakan PR anaknya. Tapi orangtua terpaksa melakukannya karena anaknya tidak bisa bahkan tidak mau mengisinya karena tidak paham cara mengerjakannya.

Pada saat saya posting masalah tersebut di FB, ternyata cukup banyak mendapat respon, termasuk dari kepala dan guru SD. Ternyata guru pun cukup mengalami kesulitan saat mengajarkan materi membaca untuk anak kelas I SD. 

Di satu sisi, anak kelas I SD belum disyaratkan atau diwajibkan bisa membaca, tetapi di sisi lain, materi pada buku paketnya cukup rumit dan bahan bacaannya panjang-panjang. 

Semangat untuk meningkatkan kemampuan literasi, numerasi, dan berpikir kritis peserta didik adalah sebuah hal yang baik, tetapi harus sesuai dengan proporsinya. Jangan sampai menjadi kontraproduktif karena tidak sesuai dengan perkembangan berpikir, karakter, dan kebutuhan peserta didik.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut saya, di sinilah kreativitas dan inovasi guru diperlukan dalam menyusun bahan ajar. Guru mengajar tidak bergantung kepada buku paket atau buku yang telah didrop dari pemerintah atau buatan penerbit, tetapi perlu menyusun bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Di era merdeka belajar saat ini guru-guru diberikan kemerdekaan untuk menyusun bahan ajar yang sesuai kebutuhan peserta didik.

Bicara tentang menyusun bahan ajar, kompetensi, dan mutu guru menjadi tantangan tersendiri mengingat kemampuan guru dalam menyusun bahan ajar beragam. Bahkan ada guru yang sama sekali belum pernah menyusun bahan ajar sendiri. 

Hanya mengandalkan dan menggunakan buku paket yang sudah ada dengan berbagai alasan. Akibatnya, dia sendiri kesulitan mengajarkannya dan peserta didik kesulitan mempelajarinya. Guru harus ekstra sabar mengajarkan materi, apalagi peserta didik yang sama sekali belum bisa membaca.

Bahan bacaan yang akan diberikan untuk peserta didik, khususnya anak SD kelas rendah harus benar-benar memperhatikan berbagai hal. Diskusi saat penyusunan dengan ahli dan praktisi serta uji petik yang melibatkan guru yang sesuai dengan jenjang atau mata pelajaran yang diampunya menjadi hal mutlak harus dilakukan sebagai upaya menghasilkan bahan bacaan yang ramah cerna bagi peserta didik.

Pelatihan kepada guru tentang cara menyusun bahan ajar yang ramah cerna perlu dilakukan oleh satuan pendidikan, organisasi profesi guru, komunitas belajar guru, dan pemerintah. 

Lomba-lomba pun perlu dilakukan untuk memotivasi guru dalam menghasilkan karya terbaiknya, khususnya dalam menyusun bahan ajar ramah cerna. Karya-karya terpilih bisa menjadi rekomendasi untuk digunakan oleh guru-guru yang lain yang mengampu kelas atau mata pelajaran yang sama. Wallaahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun