Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gelar Karya: Salah Satu Miskonsepsi P5

9 Oktober 2024   21:55 Diperbarui: 9 Oktober 2024   22:04 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

GELAR KARYA; SALAH SATU MISKONSEPSI P5

Oleh: IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

 

Salah satu miskonsepsi yang banyak terjadi dan dilaksanakan di sekolah terkait Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) adalah adanya "kewajiban" gelar karya yang menandai puncak dan selebrasi P5. Seolah belum P5 kalau belum gelar karya. Hal ini diakui atau tidak menjadi hajat yang membebani sekolah, baik dari sisi waktu, biaya, maupun tenaga. Hasil P5 dalam bentuk karya-karya, produk, dan kreativitas yang dibuat oleh siswa ditampilkan dan dipamerkan. Bahkan ada yang dilombakan. Tidak ketinggalan panggung dan sound system dipasang untuk memeriahkan acara gelar karya.

Apakah gelar karya atau pameran hasil karya P5 tidak boleh dilakukan? Pada dasarnya boleh saja hal itu dilakukan. Walau demikian, tujuan atau substansi dari P5 bukanlah gelar karya. Kalau pun ada produk yang dihasilkan dari dari kegiatan P5, produk tersebut bukan tujuan utama, tetapi buah dari karakter yang dibentuk selama proyek, seperti kerjasama, sungguh-sungguh, kreativitas, menghargai karya orang lain, dan sebagainya.  Kepala BSKAP Anindito Aditomo pada sebuah video yang dibuat oleh BSKAP pun berpesan bahwa P5 tidak harus menghasilkan produk, kegiatannya tidak harus berbiaya besar, dan tidak harus mengandalkan teknologi.

Jangan sampai P5 menjadi identik dengan pelajaran prakarya, seni, atau budaya yang tujuannya menghasilkan karya. Kalau pun adalah penilaian, hal yang dinilai bukan produknya, tetapi proses atau karakter yang dimunculkan peserta didik selama kegiatan P5. Kata "proyek" juga membuat guru-guru berpikir bahwa kegiatan P5 harus menghasilkan produk. Padahal proyek di sini juga bisa diartikan sebagai bentuk aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik untuk menguatkan karakter positifnya.

Perubahan sikap dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik juga dapat dikatakan sebagai produk dari P5. Peserta didik menjunjung tinggi kejujuran, menjadi lebih disiplin, lebih menghormati guru, lebih menghormati teman, lebih memiliki sikap empati, lebih memiliki kepedulian, lebih memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, lebih peduli terhadap masalah-masalah lingkungan, dan sebagainya, hal itu adalah buah dari P5.

Tujuan utama dari P5 adalah mendidik, menanamkan, dan mengembangkan karakter peserta didik agar memahami, menjiwai, dan mengamalkan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, peserta didik menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais. P5 bisa dilakukan dengan sukses tanpa harus ada gelar karya. Kalau pun ada gelar karya, hal itu hanya sebagai refleksi dari proses yang telah dilakukan selama kegiatan P5. Refleksi pun sebenarnya bisa dilakukan dalam format yang sederhana, seperti kumpul bersama di aula atau kelas. Tidak harus ada acara hiburan atau pentas seni yang membebani sekolah atau peserta didik.

Dalam pelaksanaan P5, memang sekolah diwajibkan memilih tema-tema yang telah ditentukan oleh Kemendikbudristek. Satu tema tertentu dilakukan dalam satu  semester. Panduan P5 memang sudah ada, tetapi realitanya masih banyak sekolah atau guru yang bingung memahami dan mengimplementasikan P5. Akibatnya, terjadi miskonsepsi. Guru banyak yang terjebak dan berkutat kepada hal-hal yang bersifat administratif, seperti menyusul modul P5 dan Lembar Kerja (LK) untuk kegiatan P5, sedangkan substansi P5 terabaikan.

Peserta didik pun kurang mendapatkan penekanan bahwa "proyek" yang dilakukan bukan berorientasi menghasilkan produk, tetapi untuk membangun dan mengembangkan karakter positif. Dampaknya, peserta didik sibuk mengerjakan tugas atau proyek tanpa tahu apa tujuan atau substansi dari yang dilakukan oleh mereka. Hal yang mereka tahu, ini adalah tugas yang harus selesai dan menjadi sebuah produk.

Misalnya, yang mereka ketahui dari kegiatan pemanfaatan botol bekas air mineral dan kantong keresek adalah untuk membuat eco brick yang nantinya akan dibentuk menjadi beragam benda. Padahal, pesan utama dibalik hal itu adalah membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga menjaga kebersihan dan membatasi penggunaan plastik demi menjaga kelestarian lingkungan karena plastik adalah sampah yang sulit terurai. Perlu puluhan bahkan ratusan tahun untuk agar sampah plastik bisa diurai oleh tanah. Hal ini yang perlu mendapatkan penekanan dalam kegiatan P5. Bukan proyeknya yang ditonjolkan.

Mari fokuskan P5 kepada pembangunan karakter bangsa, khususnya internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Jangan sampai peserta didik tahu yel-yel P5, hapal lagu-lagu P5, sedangkan sila-sila Pancasilanya itu sendiri tidak hapal. Pancasila memang bukan sekadar untuk dihapal, tetapi hapal adalah pintu masuk untuk bisa memahami, memaknai, dan mengamalkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun