Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Ramah Guru dan Tenaga Kependidikan

7 Mei 2024   15:42 Diperbarui: 8 Mei 2024   02:46 2271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: IDRIS APANDI (Praktisi Pendidikan)

Kita sering mendengar istilah sekolah ramah anak. Bahkan ada sekolah-sekolah tertentu yang mendapatkan pelatihan serta dijadikan sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA). Sesuai Namanya, sekolah ramah anak harus benar-benar ramah kepada anak, khususnya peserta didik. Mulai dari lingkungan, sarana-prasarana, layanan guru dan tenaga kependidikan, serta proses pembelajaran. Tujuannya agar anak bisa aman dan nyaman belajar, terlindungi, bebas dari rasa takut. Sekolah menjadi lingkungan yang inklusif bagi setiap peserta didik.

Hal tersebut tentunya hal yang baik dan perlu didukung. Walau demikian, menurut saya, sekolah bukan hanya harus ramah terhadap anak (peserta didik), tetapi juga terhadap guru dan tenaga kependidikan.

Mengapa demikian? Karena guru dan tenaga kependidikan adalah ujung tombak layanan pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

Bagaimana model sekolah yang ramah terhadap guru dan tenaga kependidikan?

Pada dasarnya sama saja dengan keramahan yang diperlukan oleh peserta didik. Guru dan tenaga kependidikan memerlukan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Sarana dan prasarana pendukung kerja terpenuhi, terlindungi, bebas dari rasa tertekan dan rasa takut, bebas dari kebijakan yang menekan dan mengancam mereka.

Intinya, sekolah ramah guru dan tenaga kependidikan adalah sekolah yang mampu memberikan mereka kesejahteraan lahir dan batin bagi mereka.

Logikanya, bagaimana guru dan tenaga kependidikan dapat memberikan layanan yang ramah anak, kalau mereka sendiri bekerja dalam suasana yang tertekan dan dalam perasaan tidak aman serta tidak nyaman?

Tentunya akan sulit terwujud. Bagaimana mereka bisa fokus melaksanakan tugas, jika mereka pun masih berjibaku dengan kebutuhan dasar karena rendahnya honor yang mereka terima, khususnya bagi guru dan tenaga kependidikan honorer

Adalah benar perasaan bahwa syukur dan bahagia bukan dicari, tapi diciptakan. Walau demikian, bukan berarti mereka harus dipaksa terlihat bahagia dan bersyukur dalam kondisi yang sebenarnya bertentangan dengan kondisi nyata yang dialami oleh mereka.

Saya kira, dalam konteks sarana dan prasarana, kondisi yang diperlukan oleh guru dan tenaga kependidikan bukan berarti hal yang serba ideal, karena mereka pun realistis dengan kondisi sekolah tempatnya bekerja. Minimal, mereka dapat bekerja dengan aman, dan lancar dengan sarana yang ada.

Dalam konteks psikologis, komunikasi yang terjalin dengan baik antarwarga sekolah, suasana keleluargaan, dan suasana kebersamaan dapat mendukung sekolah yang ramah guru dan tenaga kependidikan. Kepala sekolah memberikan perhatian dan perlakuan yang sama dan egaliter terhadap semua guru dan tenaga kependidikan. Tidak ada yang dianakemaskan dan tidak ada yang dianaktirikan.

Semua guru dan tenaga kependidikan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, diminta saran dan pendapatnya, didengar keluhan-keluhannya, dan ditindaklanjuti sesuai dengan kemampuan sekolah. Tidak ada kelompok eksklusif di sekolah. Guru dan tenaga kependidikan senior menyayangi yang senior menyayangi guru dan tenaga kependidikan junior. Sedangkan yang junior menghormati yang senior. Selain itu, semangat soliditas dan solidaritas harus ditumbuhkan diantara mereka.

Dalam konteks penghasilan, walau hal ini bersifat relatif, tetapi pada dasarnya setiap guru dan tenaga kependidikan memiliki kebutuhan yang sama. Oleh karena itu, mereka harus mendapatkan penghasilan yang layak. Hal yang berbeda hanya soal keinginan. Dan ini yang kadang menyebabkan besar pasak daripada tiang. Di satu penghasilan terbatas tetapi di sisi lain keinginan tidak terbatas. Rendahnya penghasilan dan tingginya kebutuhan serta keinginan disinyalir menjadi penyebab guru dan tenaga kependidikan banyak yang terjerat pinjaman online (pinjol).

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023 menyatakan bahwa guru menjadi kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjol dengan angkat sebesar 42%. Tidak bisa dipungkiri, ada guru yang saat ini masih nyambi mencari penghasilan tambahan dengan cara berjualan, pengemudi ojek online (ojol), jasa make up, hingga menjadi pemulung. Bahkan ada guru yang akhirnya mengundurkan diri dari sekolah dan memilih bekerja menjadi kurir jasa titipan dengan pertimbangan gajinya lebih besar.

Guru dan tenaga kependidikan yang terjerat dan dikejar-kejar oleh tagihan pinjol tentunya tidak akan bisa tenang dan fokus dalam bekerja. Dampaknya, motivasi kerja menurun. Akibatnya, peserta didik bisa jadi korban.

Dengan demikian, sekolah yang ramah guru dan tenaga kependidikan bukan hanya diciptakan oleh pemerintah, yayasan, dan pimpinan sekolah, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Mereka harus memiliki semangat kebersamaan dan kekeluargaan, memiliki semangat dan kepedulian terhadap penataan lingkungan sekolah agar sekolah ramah bagi mereka dapat terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun