Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Potret guru zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang. Guru zaman dulu (misalnya guru tahun 80-an), mereka hanya fokus menyusun dan melaksanakan pembelajaran.Â
Cara mengajarnya pun konvensional, sederhana, dan bersahaja. Belum dituntut untuk menggunakan beragam aplikasi dan teknologi. Belum disibukkan dengan masalah sertifikasi untuk mendapatkan label guru profesional dan tuntutan untuk mengembangkan kompetensi yang kadang menyita waktu untuk keluarganya di rumah.
Walau cara mengajar mereka konvesional dan sederhana, bukan berarti cara mereka mengajarnya tidak berkualitas. Mereka pun menggunakan media ajar dan teknologi dalam konteks yang sederhana.Â
Saya punya kenangan, ada guru saya yang kalau mengajar menggunakan media ajar dari bahan yang sederhana, pandai menggambar saat memvisualisasikan benda tertentu, terampil dalam membimbing, dan pandai bernyanyi.Â
Ilmu yang disampaikan menyerap ke dalam hati saya. Menjadi pengalaman mengajar yang bermakna bagi saya. Banyak hapalan materi ajar yang sampai saat ini saya hapal adalah buah dari bimbingan guru zaman dulu. Mengapa demikian? Selain memang sang guru terampil dalam mengajar (didaktik-metodik), juga menurut saya, beliau berhasil membangun chemistry dengan murid-muridnya.
Dalam menerapkan disiplin, guru zaman dulu masih banyak menerapkan hukuman fisik seperti memukul, mencubit, menjewer, menyuruh murid push-up, lari keliling lapangan, atau hormat bendera.Â
Walau bersifat fisik, hal tersebut tidak bertujuan untuk menyakiti murid, tetapi hanya bertujuan mendisiplinkan. Murid yang mendapatkan hukuman disiplin pun menerima hukuman walau mungkin ada sewaktu-waktu ada rasa keberatan dalam hatinya.Â
Seiring dengan perkembangan zaman dan isu hak asasi manusia (HAM), hukuman yang bersifat fisik dalam dunia pendidikan sudah tidak dibolehkan lagi karena termasuk tindakan kekerasan dan bisa melanggar HAM.
Guru-guru zaman dulu mungkin tidak hebat dalam pemanfaatan teknologi tinggi seperti guru-guru saat ini, tetapi jika bicara masalah dedikasi dan semangat dalam mendidik, saya kira tidak perlu diragukan lagi. Dengan gaji yang rendah dan sarana yang terbatas, mereka tetap semangat melaksanakan tugas.Â