*REFLEKSI JELANG PENENTUAN PILIHAN*
Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Menjadi Pemilih Literat)
Tanggal 14 Februari 2024, bangsa Indonesia akan memilih presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat di DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota periode 2024-2029. Urusan pilihan, akhirnya kembali kepada "iman elektoral" masing-masing pemilih. "iman elektoral" tersebut ada yang sudah jauh-jauh hari terbentuk sebelum atau di awal proses kontestasi pemilu. Biasanya karakter pemilih seperti ini sudah kenal, dan memiliki pandangan positif terhadap kandidat berdasarkan track record sang kandidat. Karakter orang seperti ini mentalnya tidak goyah karena sudah yakin dengan pilihannya.
Ada yang "iman elektoralnya" muncul dan menguat di tengah-tengah proses kampanye setelah melihat, mendengar, atau mengalami langsung bertemu dengan sang kandidat, melihat karya-karyanya, berdialog dengan yang bersangkutan, atau terinspirasi oleh pilihan orang lain. Ada yang "iman elektoralnya" muncul di detik-detik terakhir sebelum hari-H pemungutan suara. Pemilih seperti ini biasanya tipe pemilih yang kritis, apatis, atau tipe pemilih mengambang (swing voter).
Apapun "iman elektoral" yang ada pada setiap pemilih, mereka punya alasan, baik alasan yang bersifat subjektif atau pun objektif. Bagi pemilih yang sudah cinta mati terhadap seorang kandidat, apapun hal buruk atau kampanye negatif  terkait kandidat yang dipilihnya, tidak akan memengaruhi pendiriannya. "Iman elektoralnya" sudah sangat kuat. Tidak akan goyah.
Bagi pemilih yang sudah cinta mati dengan kandidatnya, apapun saran, nasihat, atau kritik pihak lain tidak akan memengaruhi pendiriannya. Justru dia akan mati-matian membela kandidatnya tersebut. Ibarat lirik sebuah lagu, cinta tak perlu logika. Itulah yang terjadi saat seseorang sudah cinta mati terhadap kandidat yang dipilihnya. Dia rela berkorban waktu, tenaga, bahkan biaya untuk ikut mengampanyekan kandidatnya.
Bagi pemilih kritis atau pemilih mengambang (swing voter), dinamika yang terjadi selama masa kampanye akan turut mewarnai keputusannya untuk memilih atau tidak memilih. Dia sangat memperhatikan rekam jejak dan portofolio kandidat. Intinya, setiap pemilih punya argumen dan alasan masing-masing, baik yang bersifat subjektif atau pun objektif. Walau demikian, ada yang mengubah pilihannya karena efek politik uang dan bansos yang dipolitisasi seolah pemberian dari pihak tertentu.
Dampak dari beda pilihan yang tidak disikapi secara dewasa, kadang hubungan antaranggota keluarga, hubungan antarkawan menjadi terganggu. Bahkan ada yang menjadi renggang dan bermusuhan. Inilah hal yang sebenarnya perlu dihindari oleh semua pemilih. Hak setiap orang untuk menentukan pilihan. Beda pilihan itu biasa. Harus saling menghormati pilihan masing-masing. Tidak perlu sampai merusak hubungan kekeluargaan atau pertemanan.
Dibalik hak setiap orang untuk menentukan pilihannya, tentunya pilihan itu didasari oleh hati nurani dan untuk kepentingan bangsa Indonesia 5 tahun ke depan. Jika ditanya, apa harapannya, maka hampir pasti harapannya adalah perubahan, perbaikan, Â dan peningkatan kesejahteraan.
Pendidikan terjangkau, harga sembako murah, dan akses serta fasilitas kesehatan terjamin. Ketiga hal tersebut rata-rata yang menjadi harapan setiap orang. Oleh karena itu, setiap pemilih perlu logis, memilih secara cerdas dan kritis.
Semua kandidat pasti menawarkan janji-janji saat kampanye, tetapi rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas bangsa ini yang harus cerdas dan kritis dalam menilai janji-janji kandidat. Apakah logis atau tidak. Apakah yang bersangkutan punya rekam jejak sebagai pemimpin yang berhasil dan berintegritas, serta pertimbangan lainnya.
Rasionalitas-rasionalitas hanya berlaku bagi pemilih yang cerdas dan kritis. Sedangkan bagi pemilih yang lebih mengedepankan subjektif dan primordial, apapun rasional yang didengarnya, tidak akan memengaruhi pilihannya. Bagi pemilih pragmatis, dia berprinsip siapa yang memberikan sesuatu (uang, materi, atau fasilitas) untuk kepentingan pemilihan, maka dia akan memilihnya. Tidak demikian bagi pemilih kritis. Dia berani menolak iming-iming dari kandidat tertentu. Atau kalau pun dia menerimanya, hal tersebut tidak memengaruhi pilihannya. Istilahnya, "ambil uangnya, tapi jangan pilih orangnya."
Jelang detik-detik menyalurkan hak pilih, masih ada waktu untuk merenung dan memikirkan keputusan terbaik untuk pemimpin bangsa dan negara ini. Kita tentu ingin negara ini berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam berbudayaan seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, salah satu proklamator kemerdekaan RI.Â
Kita pun tentu juga ingin negara ini menjadi negara yang maju, unggul, diperhitungkan, dihormati dan dihargai baik dalam pergaulan level regional atau pun internasional. Kita tentunya negara ini hadir sebagai pelindung dan penjaga bagi rakyatnya. Mari tentukan pilihan dengan cerdas dan kritis untuk Indonesia yang lebih baik. Selamat memilih. Selamat ikut menentukan masa depan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H