Selain itu, guru juga dapat mencari sendiri informasi terkait dengan konsep dan implementasi pembelajaran terdiferensiasi dari berbagai sumber. Misalnya aplikasi yang disediakan oleh Kemdikbudristek seperti aplikasi merdeka mengajar, guru berbagi, dan aplikasi lainnya.Â
Selain itu, guru bisa mencari informasi dari internet, YouTube, artikel jurnal atau best practice terkait dengan pembelajaran terdiferensiasi. Guru juga bisa bergabung dalam komunitas seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk saling berbagi pengalaman dan inspirasi terkait dengan pembelajaran terdiferensiasi.
Kedua, guru harus benar-benar mengenal gaya belajar, minat, kemampuan awal, dan kebutuhan peserta didik.Â
Setiap peserta didik unik. Mereka memiliki gaya belajar yang beragam, seperti gaya belajar dominan melalui pendengaran (auditory), gaya belajar yang dominan menggunakan penglihatan (visual), dan gaya belajar yang dominan menggunakan gerakan (kinestetik).Â
Belum lagi dikaitkan dengan beragamnya kecerdasan yang dimiliki oleh setiap peserta didik yang dikenal dengan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang dikembangkan oleh Howard Garner, seorang psikolog dari Universitas Harvard Amerika Serikat. Bagi Gardner tidak ada anak yang bodoh atau pintar. Namun yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan tertentu.
Pada hasil penelitiannya, Gardner menyebutkan bahwa terdapat 8 jenis kecerdasan, yaitu (1) kecerdasan verbal-linguistik, (2) kecerdasan logis-matematik, (3) kecerdasan spasial-visual, (4) kecerdasan kinestetik-jasmani, (5) kecerdasan musical, (6) kecerdasan intrapersonal, (7) kecerdasan interpersonal, dan (8) kecerdasan naturalis.
Seiring dengan berkembangnya berbagai riset terkait kecerdasan, maka ditemukan 1 kecerdasan baru yang disebut kecerdasan eksistensial, yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kepekaan atau kemampuan seseorang dalam menjawab persoalan terdalam (hakikat) dalam keberadaan manusia. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh para filosof atau para pemikir.
Berdasarkan hal tersebut, maka sudah dapat dibayangkan bahwa pengelolaan pembelajaran menjadi sebuah proses yang kompeks dan menantang bagi guru. Perlu guru yang benar-benar kompeten, berjiwa pemelajar, dan berpikiran terbuka untuk berubah (growth mindset) dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya.
Asesmen diagnostik baik asesmen diagnostik kognitif maupun asesmen diagnostik nonkognitif menjadi "pintu gerbang" bagi guru untuk mengetahui karakter murid. Asesmen diagnostik kognitif dilakukan oleh guru sebelum peserta didik mempelajari materi yang baru.Â
Teknisnya, guru membuat beberapa pertanyaan atau soal yang harus dijawab oleh peserta didik. Jawaban dari peserta didik dijadikan dasar bagi guru untuk menyusun strategi pembelajaran dan perlakuan yang akan diberikan kepada setiap peserta didik.
Asesmen diagnostik nonkognitif dilakukan oleh guru melalui penyebaran angket, wawancara, observasi ke tempat tinggal peserta didik, atau mempelajari buku rapor pada jenjang sebelumnya. Guru juga bisa bekerja sama dengan wali kelas, guru BK, atau psikolog untuk mengetahui karakteristik, gaya belajar, minat peserta didik.