Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pembelajaran Terdiferensiasi yang Memerdekakan

31 Mei 2022   14:00 Diperbarui: 31 Mei 2022   17:58 2324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Strategi pembelajaran yang disusun dalam RPP bukanlah harga mati, tetapi terbuka untuk direvisi atau dimodifikasi sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Salah satu hal yang diharapkan dilaksanakan oleh guru seiring dengan diimplementasikannya kurikulum merdeka adalah pembelajaran terdiferensiasi. Pembelajaran terdiferensiasi secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik, gaya belajar, dan kecepatan belajar setiap peserta didik.

Pembelajaran terdiferensiasi dilaksanakan dalam rangka mengakomodir dan menghargai perbedaan individual peserta didik. Setiap peserta didik adalah unik. Mereka memiliki bakat, minat, dan kecerdasan yang beragam.

Misalnya jika dalam satu kelas ada 40 orang peserta didik, maka asumisnya adalah ada 40 kebutuhan layanan pembelajaran yang berbeda yang harus penuhi guru. Sungguh bukan hal yang mudah bagi guru untuk melakukannya. Tetapi hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

Biasanya guru menulis strategi pembelajaran pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang pada kurikulum merdeka saat ini disebut sebagai modul ajar. Apakah srategi pembelajaran yang digunakan akan cocok untuk semua peserta didik yang jumlahnya belasan bahkan puluhan orang?

Saya kira jawabannya belum tentu satu strategi cocok dengan karakteristik dan kebutuhan belajar setiap peserta didik.

Oleh karena itu, strategi yang disusun oleh guru tidak mutlak hanya satu saja, tetapi bisa beberapa alternatif strategi pembelajaran.

Strategi pembelajaran yang disusun dalam RPP bukanlah harga mati, tetapi terbuka untuk direvisi atau dimodifikasi sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan. Cara mengajar guru akan dipengaruhi kondisi dan situasi baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.

Diakui atau tidak, cara mengajar dan semangat mengajar guru pada pagi hari (awal jam pelajaran) akan berbeda dengan mengajar setelah waktu istirahat atau waktu pulang.

Begitu pun semangat belajar peserta didiknya bisa saja berbeda karena faktor kondisi psikologisnya, faktor guru yang mengajarnya, faktor materi yang dipelajari, faktor lingkungan/ruang belajar, atau faktor waktu/jadwal pembelajaran.

Oleh karena itu, jika diperlukan, guru dapat melakukan perubahan strategi pembelajaran. Tidak hanya berpatokan pada strategi pembelajaran yang telah ditulis pada RPP.

Satu strategi pembelajaran yang efektif dilaksanakan pada satu kelas, belum tentu efektif diterapkan pada kelas lainnya mengingat beragamnya kondisi peserta didik dan kapan materi tersebut disampaikan. Jika guru mengajar pada beberapa kelas, maka ada beberapa strategi yang kemungkinan perlu dilakukan.

Menerapkan pembelajaran terdiferensiasi bukanlah suatu hal yang mudah bagi guru. Perlu kerja keras, semangat, dan dedikasi yang luar biasa. Sebelum melakukannya, guru terlebih dahulu harus mengidentifikasi karakteristik, gaya belajar, dan kemampuan setiap peserta didik. Cara yang bisa dilakukan diantaranya dengan asesmen diagnostik.

Asesmen diagnostik terdiri dari asesmen diagnosik kognitif dan asesmen diagnostik nonkognitif. Tujuan asesmen diagnostik kognitif untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik sebelum mempelajari sebuah materi.

Misalnya, sebelum memulai materi pelajaran, guru meminta peserta didik mengerjakan beberapa soal-soal. Hasil dari pengerjaan soal tersebut menjadi dasar bagi guru dalam menentukan strategi pembelajaran yang harus digunakan.  

Tujaun asesmen diagnostik nonkognitif yaitu untuk mengetahui kondisi dan kesiapan psikologis peserta didik untuk belajar.

Misalnya guru menyebarkan angket, wawancara, kunjungan ke rumah peserta didik, menelusuri latar belakang kondisi keluarga, dan kondisi sosial-ekonomi peserta didik. Guru pun bisa bekerja sama dengan guru wali kelas, guru BK, atau bahkan psikolog untuk mengetahui karakteristik seorang peserta didik.

Di sekolah tertentu, selain ada guru BK, juga ada psikolog dan psikiater yang perannya melakukan penelusuran minat dan bakat peserta didik, mendampingi peseta didik dalam mengatasi kesulitan belajar, dan mengatasi masalah psikologis yang akan berdampak terhadap prestasi belajarnya. Meminta siswa untuk memberikan respon dalam bentuk emoticon yang mewakili perasaannya sebelum pembelajaran dimulai dapat menjadi salah satu alternatif sederhana asesmen diagnostik nonkognitif.

Bak seorang dokter, asesmen diagnostik dilakukan oleh guru agar guru bisa menentukan  "resep pembelajaran" yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik karena semangat pembelajaran yang saat ini digaungkan adalah pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (student centre).

Menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran, bukan hanya sebagai objek. Peserta didik merdeka belajar dengan cara mereka dan merdeka belajar dari beragam sumber belajar. Guru hanya menjadi salah satu sumber belajar saja dan memfasilitasi peserta belajar dari sumber belajar lainnya.

Kalau pembelajaran terdiferensiasi ini mau benar-benar dilaksanakan, maka selain perlakuan guru yang beragam terhadap setiap peserta didik dalam proses pembelajaran, juga terdiferensiasi dalam hal penugasan, proyek, produk, dan asesmen hasil belajar mengingat minat, bakat, dan kemampuan mereka yang beragam.

Misalnya saat peserta didik belajar tentang laut, maka saat guru memberikan tugas kepada peserta didik pun, diberikan beberapa alternatif. Misalnya bagi peserta didik yang suka menggambar, guru menugaskan dia untuk menggambar pemandangan laut atau biota laut.

Bagi peserta didik yang kuat di kemampuan bercerita, guru menugaskannya untuk bercerta tentang laut atau biota laut baik dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi. Bagi peserta didik yang senang menulis, guru bisa menugaskannya menulis tentang laut atau biota laut dalam bentuk fiksi atau nonfiksi. Bagi yang senang bernyanyi, guru bisa menugaskannya untuk menulis lagu atau menyanyikan lagu yang bertema laut.

Bagi peserta didik yang senang matematika, guru mungkin bisa memberikan tugas berupa soal-soal hitungan atau proyek dengan tema laut. Bagi peserta didik yang senang dengan IPA, bisa berupa penelitian terkait biota laut, dan sebagainya. Bagi yang senang IPS, mungkin bisa diberikan tugas berupa laporan terkait karakteristik alam daerah pesisir pantai, karakteristik masyarakat yang hidup di daerah pesisir, kegiatan ekonomi masyarakat daerah pesisir, dan sebagainya. Dengan demikian, maka proses pembelajaran akan menjadi proses yang menyenangkan dan menantang bagi mereka.

Indikator penilaiannya pun disesuaikan dengan tugas-tugas yang diberikan kepada setiap peserta didik. Oleh karena itu, mereka akan hebat, terampil, dan juara sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Istilahnya, tidak akan ada cerita ikan yang dites naik pohon yang tentunya pasti akan gagal karena metode dan instrument asesmennya yang tidak tepat. Dengan metode asesmen yang tepat, tidak akan ada peserta didik yang tertinggal pelajaran atau dinilai tidak kompeten.

Mungkin hal yang sampaikan terkesan akan merepotkan guru dalam pelaksanaannya dan pelaporan hasil belajarnya. Tetapi kalau pembelajaran terdiferensiasi mau benar-benar dilaksanakan, jangan setengah-setengah. Harus utuh dan menyeluruh.

Menurut saya, guru-guru yang menyukai tantangan, kreatif, dan memiliki resiliensi (keuletan) yang tinggi akan dapat melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi dengan baik. Guru harus membuka diri untuk mau belajar bagaimana cara melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi dengan optimal.

Hasil dari pembelajaran terdiferensiasi tentunya akan berbeda tetapi sama dengan tetap mengacu kepada capaian pembelajaran atau standar ketuntasan minimal. Maksudnya, walau metode dan instrumen asesmennya berbeda, tetapi secara substansi, tujuan pembelajaran tercapai sehigga pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik benar-benar terwujud.

Wallaahu a'lam.

Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Merdeka Belajar melalui Pembelajaran HOTS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun