Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hindari Toxic Leadership

19 Februari 2022   18:58 Diperbarui: 19 Februari 2022   19:09 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MAU JADI PEMIMPIN? JANGAN MILIKI KARAKTER TOXIC LEADERSHIP

 

Pemimpin adalah sosok yang diharapkan menjadi sosok yang mampu menjadi teladan, transformator, agen perubahan (agent of change) dalam lembaga, instansi, atau organisasi yang dipimpinnya sehingga lembaga yang dipimpinnya tersebut maju dan terus berkembang. 

Seseorang dipilih sebagai pemimpin biasanya melalui mekanisme administratif yang berisi sejumlah persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk menjadi kandidat pemimpin dan mekanisme fit and proper test untuk mengetahui rekam jejak (track record), kompetensi dan kapabilitasnya sebagai calon pemimpin. Mekanisme ini biasanya dilakukan di lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. 

Jika kandidat terdiri dari beberapa orang, maka kandidat yang terpilih adalah kandidat yang dinilai memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan kandidat yang lainnya dalam hal pendidikan, pengalaman, kemampuan manajerial, komitmen, kematangan emosi, dan sebagainya.

Gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan mewarnai lembaga yang dipimpinnya. Idealnya, seorang pemimpin diharapkan membangun iklim kerja yang kondusif, membangun komunikasi yang adem, membangun kekeluargaan, dan bermuara kepada mampu meningkatkan kesejahteraan para stafnya baik kesejahteraan jasmani maupun rohani. 

Tetapi pada praktiknya, mungkin saja hal tersebut tidak selalu terwujud. Istilahnya, jauh panggang dari api. Seorang pemimpin kurang dapat menampilkan karakter kepemimpinan yang diharapkan oleh anak buahnya. 

Dia tidak berposisi sebagai mitra kerja staf, tetapi berposisi sebagai bos, Sukanya merintah-merintah, ekslusif, ingin selalu dilayani, otoriter, setiap perintahnya harus dituruti, komunikasi satu arah, membatasi atau menutup pintu dialog dengan staf, tidak melibatkan staf dalam proses pengambilan keputusan, dan selalu merasa paling benar dan paling tahu keputusan terbaik terhadap masa depan organisasinya. Inilah yang disebut sebagai karakter kepemimpinan racun (toxic leadership).

Jika ada masalah, maka yang dicari bukan apa akar masalahnya dan fokus mencari solusinya, tetapi yang dicari adalah siapa penyebab timbulnya masalah tersebut. Dia senang menghukum dan mempermalukan stafnya. Tapi kalau dia yang salah, dia akan menyampaikan berbagai pembelaan dan pembenaran dari kesalahan yang dilakukan tersebut. 

Dia enggan untuk melakukan pengembangan kompetensi staf karena disamping perlu biaya, dalam pandangannya, jika staf makin pintar, maka akan semakin kritis, dan jika makin kritis, maka berisiko semakin banyak tuntutan yang disampaikan padanya.

Pemimpin yang berkarakter toxic leadership anti terhadap kritik dari stafnya. Sebuah kritik akan dianggap sebagai bentuk perlawanan dan ketidaktaatan terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia akan menggunakan pendekatan kekuasaan kepada staf yang dalam pandangannya kritis dan membahayakan posisinya. 

Dia enggan mengapresiasi kinerja dan prestasi stafnya, tapi jika ada kesalahan yang dilakukan oleh seorang staf, maka dia tidak akan ragu menjatuhkan harkat dan martabat stafnya. Dia kadang menjadikan staf yang berprestasi sebagai saingan dia, sehingga dia suka mempersulit izin saat staf ingin mengikuti pengembangan diri atau dimintai bantuan oleh pihak lain dengan berbagai alasan.

Staf yang bekerja di bawah kepemimpinan toxic leadership tentunya akan merasa tertekan dan tidak nyaman. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap menurunnya motivasi kerja. Lingkungan kerja yang dikelola dengan gaya toxic leadership terasa bagai penjara bagi para stafnya. Kerativitas mereka sulit muncul atau mungkin saja staf enggan untuk bekerja lebih kreatif. Yang penting kerja sesuai dengan instruksi bos supaya aman. Akibatnya budaya Asal Bapak Senang (ABS) muncul di lingkungan kerja seperti ini.

Bagi staf yang memiliki alternatif tempat kerja lain yang lebih nyaman, dia tentunya akan memilih mengundurkan diri, tetapi bagi staf yang tidak punya pilihan, dia terpaksa bertahan dalam suasana yang tidak nyaman, karena dapurnya harus ngebul. Ada keluarga yang harus dihidupinya. Dalam diamnya, bukan tidak mungkin sambil berharap agar sang pemimpin segera diganti atau sang pindah ke tempat lain.

Hal yang saya uraikan mungkin seperti kisah dalam sinetron-sinetron picisan terkait gaya seorang pemimpin yang arogan, tapi tidak mustahil ada dalam dunia nyata, karena sebuah sinetron pun kadang terinspirasi dari kisah nyata. Pesan utamanya adalah bagi siapa saja yang bercita-cita ingin jadi pemimpin, hindarilah karater toxic leadership. 

Jika suatu saat jadi pemimpin, jadilah pemimpin yang memberikan teladan, mengayomi, inklusif, humanis, tegas berbalut kelembutan, membangun komunikasi yang positif, demokratis, dan bersahabat dengan para stafnya. Jika hal tersebut dilakukan, maka dia akan menjadi sosok pemimpin yang memberikan kesan yang mendalam bagi para stafnya. Dia akan dikenang walau sudah tidak menjabat lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun