KEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA INDONESIA
Oleh: IDRIS APANDI
Bangsa Indonesia saat ini banyak yang kehilangan jati diri. Dulu, saya waktu belajar di sekolah, saya membaca dan mendengar penjelasan dari guru bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, memiliki karakter saling menghormati, saling menghargai, ramah, sopan, dan santun. Tetapi saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan teknologi, dan juga dampak konflik politik bangsa Indonesia saat ini terpecah belah dan bermusuhan.
Hal ini setidaknya bisa kita lihat di media sosial. Media sosial (medsos) menjadi medan pertempuran yang sangat mengerikan. Perang tagar, perang postingan, dan perang komentar terjadi sesama anak bangsa yang berbeda pendapat atau berbeda dukungan secara politik. Â Warganet (netizen), julukan untuk aktif berselancar di internet begitu sangar dan garang di medsos. Sangat menakutkan. Apalagi kalau sudah merundung (bullying) lawan politik atau pihak yang berbeda pendapat. Habis-habisan. Kata-kata yang digunakan pun banyak yang kasar dan sarkastis. Saling sindir, saling nyinyir, dan saling hina seolah menjadi hal yang biasa di medsos.
Keberadaan pendengung (buzzer) disinyalir menjadi penyebab media sosial semakin tidak sehat. Buzzer saat ini telah dianggap sebagai industri yang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan seperti pencitraan, mendongkrak popularitas, menjatuhkan, atau bahkan membunuh karakter pihak lawan politik. Sangat mengerikan. Disinyalir, satu orang buzzer bisa memiliki sekian banyak akun anonym sehingga media sosial menjadi sangat tidak kondusif. Dan disinyalir ada pihak tertentu yang diuntungkan dengan keberadaan buzzer.
Banyak pihak mengeluhkan keberadaan buzzer yang dinilai merusak demokrasi dan merusak kedamaian dan ketertiban hidup bermasyarakat. Mereka menyebar fitnah, ujaran kebencian, dan mengadu domba. Media sosial yang tujuan awalnya untuk hal yang positif, oleh buzzer justru digunakan untuk hal yang negatif dan membuat masyarakat terpecah belah dan saling curiga. Tentunya kita berharap aparat kepolisian dan Kominfo bisa membasmi buzzer tersebut.
Aksi saling hina, saling fitnah, dan saling rundung berujung kepada aksi saling lapor ke polisi. Selain KUHP, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi dasar hukum yang paling banyak dijadikan rujukan pada laporan kasus di media sosial. Sudah cukup banyak orang yang pada akhirnya meringkuk di penjara akibat postingan atau komentarnya di medsos melanggar UU ITE. Ada juga kasus yang masih bisa diselesaikan dengan keleluargaan dan permohonan maaf di atas kertas bermaterai Rp. 10.000,-. Tapi sayangnya, hal tersebut belum menjadi pelajaran bersama, karena baru beres satu kasus, muncul lagi kasus-kasus baru.
Selain munculnya buzzer, hal yang menyebabkan media sosial kurang sehat adalah belum literat dan belum dewasanya warganet dalam bermedsos. Banyak yang hanya siap bermedsos, tapi belum siap menaati etika bermedos (netiquette). Mereka asal posting, asal komentar, atau asal viral. Jari-jari tangan mereka disamping merugikan orang lain, juga bisa merugikan diri sendiri. Oleh karena itu, perlu terus ada edukasi dari berbagai pihak terkait etika bermedsos agar medsos tidak menjadi sarana memosting hal yang tidak bermanfaat, provokatif, hanya mengejar viral dengan tidak melihat dampak yang akan ditimbulkan.
Di media sosial, postingan dan berita yang negatif jauh lebih banyak dibandingkan dengan berita-berita positif. Berita-berita yang negatif, sensasional, dan kontroversial sangat mudah untuk viral atau diviralkan, sedangkan berita-berita yang baik terkesan kurang diviralkan bahkan kurang menarik untuk dibaca. Apakah ini adalah tanda masyarakat kita saat ini sedang sakit mental? Lebih senang membaca dan melihat yang buruk dibandingkan dengan hal yang baik?
Sikap saling menghormati dan saling menghargai antartetangga terlihat kian luntur. Ada yang sama sekali tidak saling kenal. Ada yang kenal, tapi jarang saling bertutur sapa. Ironisnya, sesama tetangga saling tutup jalan gang masuk ke rumah, saling gugat, bahkan sampai melakukan aksi-aksi kekerasan karena dipicu oleh masalah sepele atau ada miskomunikasi. Â Di jalanan, orang mudah sekali marah. Emosinya gampang tersulut. Karena gesekan atau senggolan kendaraan sedikit bisa berbuntut aksi kekerasan. Saling hina, saling bully di medsos, miskomunikasi, persaingan yang tidak sehat juga bisa berujung kekerasan, bahkan hilangnya nyawa manusia. Miris.
Bangsa Indonesia harus ingat bahwa negara ini punya jati diri bangsa yaitu Pancasila. Para pendiri bangsa ini jauh-jauh hari mengingatkan bahwa Pancasila harus menjadi ruh dan spirit kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila harus diamalkan, bukan hanya dipelajari secara teoretik. Pancasila harus diteladankan oleh para pemimpin dan orang-orang dewasa kepada anak-anak, bukan hanya diajarkan secara top-down di bangku sekolah dan bangku kuliah.
Mari kembalikan jati diri bangsa ini seperti saling menghormati, saling menghargai, ramah, sopan, santun, kerja sama, dan gotong royong di bangsa ini. Hal tersebut merupkan modal filosofis dan modal sosial negara ini berdiri. Dengan modal tersebut Indonesia bisa jadi negara yang aman, damai, maju, dan bisa bangkit dari berbagai tantangan dan masalah yang saat ini dialami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H