BUDAYA BACA: DULU, TANTANGAN MASA KINI, DAN HARAPAN MASA DEPAN
Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Literasi atau Mati)
"Buku gudangnya ilmu dan kuncinya adalah membaca." Slogan tersebut menempel di dinding ruang kelas saat saya kelas 2 SMP tahun 1992. Â Adanya slogan tersebut menunjukkan bahwa jauh-jauh hari sebelum euphoria gerakan literasi saat ini, kepedulian atau minimal pengingat terhadap pentingnya membaca sudah digaungkan. Saat itu belum ada fasilitas internet di sekolah. Perpustakaan sekolah menjadi tempat satu-satunya yang bisa diakses oleh peserta didik untuk membaca. Buku-buku teks pelajaran dan buku bacaan terbitan sebuah penerbit bertuliskan "Milik Negara Tidak Diperjualbelikan" pada sampulnya menjadi penghuni utama perpustakaan dan digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut pada umumnya adalah kiriman dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P & K). Sangat jarang buku-buku di luar kiriman departemen P & K ada di perpustakaan sekolah. Penyebabnya mungkin karena saat itu sekolah belum bisa/boleh membeli buku dengan menggunakan anggaran sekolah an masih terbatasnya akses ke penerbit buku. Selain itu, masih jarang juga perusahaan atau instansi yang menyumbang buku ke sekolah.
Berbeda dengan kondisi saat ini dimana sekolah bisa membeli buku dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sekolah pun bisa memilih jenis dan judul buku yang diperlukan untuk menambah koleksi perpustakaan atau buku-buku bacaan dalam rangka menggebyarkan gerakan literasi. Sekolah, guru, peserta didik pun saat ini bisa menerbitkan buku sendiri (self publishing) melalui jasa penerbit berbayar yang dikenal dengan penerbit indie.
Dulu, memang yang saya amati dan alami, imbauan tentang pentingnya membaca baru hanya di atas kertas. Departemen  P & K hanya sebatas memasok buku-buku teks atau buku bacaan ke sekolah. Setelah itu, hampir dikatakan tidak ada tindak lanjutnya untuk meningkatkan minat baca.  Selama saya menjadi pelajar, belum pernah satu kali pun saya ditugaskan oleh guru atau  berinisiatif sendiri meminjam buku di perpustakaan. Saya dan siswa yang lain hanya datang ke perpustakaan saat akan mengambil buku paket yang akan digunakan pada saat pembelajaran.
Perpustakaan menjadi ruangan yang asing di kalangan pelajar bahkan (mungkin) termasuk guru-guru. Sungguh sangat ironis. Perpustakaan sekolah sepi dan cenderung angker karena jarang ada yang mendatangi. Kondisi Perpustakaan kadang lebih mirip disebut gudang buku dibandingkan dengan perpustakaan karena tumpukan buku berada di sudut-sudut perpustakaan. Buku-buku tersebut belum diproses oleh petugas perpustakaan, bahkan saking lamanya dibiarkan, rusak dimakan oleh rayap atau kertasnya menjadi lembab.
Saat ini, gaung gerakan literasi bergema dimana-mana. Mengapa gerakan literasi digulirkan? Masih rendahnya minat dan kebiasaan membaca masyarakat menjadi latar belakang lahirnya gerakan tersebut. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggulirkan program peningkatan minat baca. Organisasi, komunitas, dan relawan literasi pun bermunculan. Walau gerakan literasi masih terasa sebagai hal yang bersifat seremonial, tetapi setidaknya kepedulian terhadap pentingnya membaca mulai tumbuh.
Hasil studi PISA tahun 2018 yang dirilis oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan Indonesia berada di peringkat 71 dari 78 negara di dunia berkaitan dengan literasi. Kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489. (Kemdikbud, 2019).
Secara akumulatif, skor kemampuan siswa Indonesia hanya 1.146 poin. Angka ini turun 3,4 persen dibandingkan dengan hasil PISA 2015 yang sebesar 1.186 poin. Indonesia pun juga menjadi negara dengan skor kedua terendah di Asia setelah Filipina. Sementara Malaysia dan Thailand berada jauh di atas Indonesia, masing-masing di peringkat 48 dan 60. (Katadata, 2019).