Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Baca: Dulu, Tantangan Masa Kini, dan Harapan Masa Depan

29 Mei 2021   20:26 Diperbarui: 29 Mei 2021   20:59 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

BUDAYA BACA: DULU, TANTANGAN MASA KINI, DAN HARAPAN MASA DEPAN

Oleh: IDRIS APANDI

(Penulis Buku Literasi atau Mati)

"Buku gudangnya ilmu dan kuncinya adalah membaca." Slogan tersebut menempel di dinding ruang kelas saat saya kelas 2 SMP tahun 1992.  Adanya slogan tersebut menunjukkan bahwa jauh-jauh hari sebelum euphoria gerakan literasi saat ini, kepedulian atau minimal pengingat terhadap pentingnya membaca sudah digaungkan. Saat itu belum ada fasilitas internet di sekolah. Perpustakaan sekolah menjadi tempat satu-satunya yang bisa diakses oleh peserta didik untuk membaca. Buku-buku teks pelajaran dan buku bacaan terbitan sebuah penerbit bertuliskan "Milik Negara Tidak Diperjualbelikan" pada sampulnya menjadi penghuni utama perpustakaan dan digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran.

Buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut pada umumnya adalah kiriman dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P & K). Sangat jarang buku-buku di luar kiriman departemen P & K ada di perpustakaan sekolah. Penyebabnya mungkin karena saat itu sekolah belum bisa/boleh membeli buku dengan menggunakan anggaran sekolah an masih terbatasnya akses ke penerbit buku. Selain itu, masih jarang juga perusahaan atau instansi yang menyumbang buku ke sekolah.

Berbeda dengan kondisi saat ini dimana sekolah bisa membeli buku dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sekolah pun bisa memilih jenis dan judul buku yang diperlukan untuk menambah koleksi perpustakaan atau buku-buku bacaan dalam rangka menggebyarkan gerakan literasi. Sekolah, guru, peserta didik pun saat ini bisa menerbitkan buku sendiri (self publishing) melalui jasa penerbit berbayar yang dikenal dengan penerbit indie.

Dulu, memang yang saya amati dan alami, imbauan tentang pentingnya membaca baru hanya di atas kertas. Departemen  P & K hanya sebatas memasok buku-buku teks atau buku bacaan ke sekolah. Setelah itu, hampir dikatakan tidak ada tindak lanjutnya untuk meningkatkan minat baca.  Selama saya menjadi pelajar, belum pernah satu kali pun saya ditugaskan oleh guru atau  berinisiatif sendiri meminjam buku di perpustakaan. Saya dan siswa yang lain hanya datang ke perpustakaan saat akan mengambil buku paket yang akan digunakan pada saat pembelajaran.

Perpustakaan menjadi ruangan yang asing di kalangan pelajar bahkan (mungkin) termasuk guru-guru. Sungguh sangat ironis. Perpustakaan sekolah sepi dan cenderung angker karena jarang ada yang mendatangi. Kondisi Perpustakaan kadang lebih mirip disebut gudang buku dibandingkan dengan perpustakaan karena tumpukan buku berada di sudut-sudut perpustakaan. Buku-buku tersebut belum diproses oleh petugas perpustakaan, bahkan saking lamanya dibiarkan, rusak dimakan oleh rayap atau kertasnya menjadi lembab.

Saat ini, gaung gerakan literasi bergema dimana-mana. Mengapa gerakan literasi digulirkan? Masih rendahnya minat dan kebiasaan membaca masyarakat menjadi latar belakang lahirnya gerakan tersebut. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggulirkan program peningkatan minat baca. Organisasi, komunitas, dan relawan literasi pun bermunculan. Walau gerakan literasi masih terasa sebagai hal yang bersifat seremonial, tetapi setidaknya kepedulian terhadap pentingnya membaca mulai tumbuh.

Hasil studi PISA tahun 2018 yang dirilis oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan Indonesia berada di peringkat 71 dari 78 negara di dunia berkaitan dengan literasi. Kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489. (Kemdikbud, 2019).

Secara akumulatif, skor kemampuan siswa Indonesia hanya 1.146 poin. Angka ini turun 3,4 persen dibandingkan dengan hasil PISA 2015 yang sebesar 1.186 poin. Indonesia pun juga menjadi negara dengan skor kedua terendah di Asia setelah Filipina. Sementara Malaysia dan Thailand berada jauh di atas Indonesia, masing-masing di peringkat 48 dan 60. (Katadata, 2019).

Hasil studi PISA tersebut tentunya perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah, sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan para pegiat literasi untuk semakin meningkatkan gema gerakan literasi di sekolah. Literasi menjadi kunci dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan daya saing sebuah bangsa. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang akan dilaksanakan tahun 2021 difokuskan pada pemetaan kualitas literasi dan numerasi. Pembelajaran diorientasikan kepada penguatan literasi (membaca) dan numerasi (mengolah dan menelaah informasi serta menganalisis data-data numerik/angka-angka) diharapkan bisa berdampak terhadap meningkatnya peringkat literasi Indonesia pada ajang PISA.

Dulu, rendahnya minat peserta didik disebabkan terbatasnya akses ke sumber dan tempat bacaan, serta terbatasnya variasi jenis dan bentuk bacaan, tetapi saat ini, di saat akses ke berbagai dan tempat sumber bacaan sangat mudah diakses, variasi jenis dan bentuk sumber bacaan juga sudah cukup banyak, tetapi jika minat baca masih rendah, berarti masih ada yang bermasalah. Menurut saya, penyebabnya adalah belum tumbuhnya minat dan rasa butuh terhadap ilmu pengetahuan dan belum diposisikannya membaca sebagai hal yang penting dan bermanfaat di kalangan masyarakat khususnya di kalangan peserta didik. Budaya malas membaca dan budaya bertutur (lisan) masih dominan ada di masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sudah cukup banyak program yang dilakukan untuk meningkatkan minat dan daya baca peserta didik, seperti pembiasaan membaca 15 menit sebelum pembelajaran, tagihan/jurnal bacaan, reviu buku, lomba-lomba, apresiasi literasi, dan sebagainya. Walau demikian, hal tersebut belum sepenuhnya mencapai tujuan yang diharapkan. Mengapa? Karena berbagai kegiatan tersebut masih (terkesan) bersifat seremonial dan formalistik.

Hati warga sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik) belum sepenuhnya tersentuh sehingga program literasi di sekolah ada yang terkesan asal dilaksanakan bahkan ada yang sudah mati suri. Walau demikian, ada kepala sekolah dan guru penggerak literasi yang mencoba bertahan melaksanakan kegiatan literasi di sekolah. Apalagi pada masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebagai dampak pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama 2 tahun (2020 s.d. sekarang), tantangan yang dihadapi untuk tetap menggerakkan literasi pada masa pandemi cukup berat. Oleh karena itu, kita harus memberikan apresiasi kepada mereka yang tetap gigih melaksanakan aktivitas literasi pada masa pandemi.

Ketersediaan dan kemudahan akses ke sumber bacaan dan ketersediaan bacaan-bacaan yang bermutu akan menjadi dua tantangan yang perlu ditangani dengan sungguh-sungguh khususnya oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan. Peran swasta atau dunia usaha atau masyarakat pun tentunya diharapkan bisa membantu pemerintah dalam mengatasi tantangan tersebut. Penyediaan sarana dan digitalisasi sumber bacaan bisa menjadi upaya dalam meningkatkan dan memudahkan akses masyarakat terhadap sumber bacaan. Selain itu, pola pikir (mind set) masyarakat (termasuk para insan pendidikan) terhadap pentingnya membaca perlu ditingkatkan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Wallaahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun