Oleh: IDRIS APANDI
Mentalitas takut tersaingi bisa terjadi terhadap siapa saja dan dimana saja. Mulai dari lingkungan keluarga, instansi tempat bekerja, organisasi, hingga masyarakat. Dalam sebuah keluarga, saat seorang bayi lahir sebagai anggota keluarga yang baru, kakaknya biasanya mengalami perubahan karakter. Menjadi lebih manja, ingin digendong terus oleh ayah atau ibunya, ingin tidur dengan ibunya walaupun ibunya harus menyusui atau mengurus adiknya yang baru beberapa hari dilahirkan, perasaannya lebih sensitif, mudah marah, dan sebagainya.
Di sebuah unit kerja atau organisasi, jika ada personal yang potensial, berprestasi, banyak berkarya, dan kompetensinya diakui oleh banyak pihak di satu sisi bisa jadi aset dan disambut gembira sebagian pihak, tetapi ada sebagian pihak yang mungkin merasa kurang happy karena posisi terancam dan eksistentinya berpotensi terganggu. Demikian juga saat datang seorang staf baru yang punya portfolio atau track record yang mentereng, selain disambut dengan baik karena dinilai akan memperkuat kapasitas lembaga, tapi tidak tertutup kemungkinan ada pihak yang "bersikap waspada" dengan kedatangan staf baru tersebut jangan sampai mengganggu "zona nyamannya" pada lembaga tersebut.
Orang yang memiliki mentalitas takut tersaingi biasanya bersikap kurang ramah terhadap teman-temannya, kalau pun ramah hanya bersifat kamuflase saja, cenderung mengedepankan prasangka buruk (prejudice), cenderung suka mempengaruhi orang lain untuk mengikuti prasangkanya, segera merapat kepada pimpinannya agar posisinya tetap aman. Kalau kebetulan dia memiliki kewenangan, maka dia menggunakan kewenangannya untuk menghambat karir orang yang menurutnya bisa mengancam eksistensinya.
Orang yang bermental takut tersaingi kadang menutup sebuah informasi berharga agar tidak diketahui pihak lain, walau di masa era informasi yang serba cepat ini, sebuah informasi seperti kegiatan lomba atau seleksi bisa beredar di berbagai grup WA. Bahkan, Â dia melakukan berbagai upaya untuk membunuh karakter orang yang tidak disukai atau dinilai berpotensi bisa mengancam posisinya.
Mentalitas takut tersaingi adalah sebagai masalah mental atau penyakit hati yang bisa menghinggapi siapa saja, apalagi bagi orang yang dirinya harus selalu terlihat lebih baik, selalu berada paling depan, selalu ingin lebih unggul, atau selalu ingin lebih lebih menonjol dari orang lain. Orang yang bermental takut tersaingi cepat mengambil inisiatif jika ada peluang atau kesempatan. Jangan sampai peluang tersebut diambil oleh orang lain.
Orang yang bermental takut tersaingi cenderung ingin menonjol atau mengundang perhatian dalam sebuah kelompok. Menyampaikan pernyataan-pernyataan hiperbolik bahkan intimidatif untuk memperlihatkan "keakuannya", kadang kata-kata yang terkesan merendah padahal tujuannya untuk meninggikan dirinya.
Mentalitas takut tersaingi tentunya sebuah hal yang negatif dalam sebuah relasi sosial di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, lingkungan organisasi, atau lingkungan masyarakat. Hal tersebut tentunya harus berupaya dihindari karena akan menjadi racun (toxic) terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Orang yang bermental takut tersaingi mencerminkan mental yang lemah. Dia pada dasarnya tidak siap untuk bekerja lebih keras dan lebih kreatif. Dalam konteks kompetisi, persaingan adalah sebuah keniscayaan. Bayangkan kalau sebuah kompetisi tanpa persaingan, tentunya tidak akan menarik. Pertandingan atau lomba yang menarik mana kala dua pihak yang bersaing tersebut memiliki kekuatan yang sama. Lawan yang tidak sepadan membuat sebuah pertandingan tidak menarik. Pihak yang menang karena memiliki kekuatan yang tidak sepadan dengan lawannya tidak akan dianggap sebagai juara sejati, apalagi dalam prosesnya ada kecurangan.
Bagaimana caranya agar terhindari dari mental takut tersaingi? Menurut saya ada beberapa hal yang dilakukan. Pertama, niatkan bekerja bukan untuk menonjolkan diri sendiri atau ingin lebih dominan dibandingkan orang lain, tetapi untuk membantu unit kerja mencapai kesuksesan program yang telah direncanakan sebelumnya. Kedua, siap  berkolaborasi dan memosisikan rekan kerja sebagai mitra untuk mencapai sukses bersama. Ketiga, tidak pelit informasi kepada rekan kerja atau kepada pihak lain yang membutuhkan informasi. Keempat selalu berpikir positif dan merespon hal yang menyakitkan dengan sikap positif.
Kelima, bekerja dan berkarya dengan sebaik-baiknya sehingga karya tersebut yang menunjukkan jati diri kita. Walau belum tentu karya tersebut diapresiasi orang lain, minimal kita sudah berbuat sesuai dengan kemampuan kita. Keenam, mencari teman atau lingkungan yang bisa memberikan aura positif dan produktif dalam bekerja. Ketujuh, berjiwa pemelajar, dan kedelapan, belajar mengapresiasi dan berjiwa besar terhadap kelebihan dan prestasi orang lain. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H