Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Problematika Mudik di Masa Pandemi

9 Mei 2021   23:43 Diperbarui: 10 Mei 2021   13:28 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudik sebelum lebaran bukan sekadar pulang biasa. Ada nilai yang "sakral" dari kegiatan tersebut. Seseorang bisa pulang sebulan sekali atau seminggu sekali dari tempat kerja atau perantauannya ke kampung halamannya, tetapi kalau tidak mudik saat mau lebaran, maka tetap saja akan terasa kurang, karena lebaran identik dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga di kampung halaman. 

Apalagi kalau sebuah keluarga besar. Anak dan cucu kumpul semuanya. Walau rumah menjadi ramai, ribut, tidur berdesak-desakkan di tengah rumah, tetapi hal tersebut tetap dinikmati. 

Toh, hanya setahun sekali. Saat anak dan cucu kembali ke rumahnya masing-masing, maka rumah kakek dan neneknya di kampung kembali sepi. Hal tersebut akan menjadi kerinduan untuk berkumpul kembali.

Bagaimana dengan kondisi saat ini dimana pemerintah melarang mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19? Ini adalah tahun kedua pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. 

Hal tersebut tentunya sebuah hal yang berat. Dua tahun tidak bisa pulang kampung, dua tahun tidak sungkem secara langsung kepada orang tua, dua tahun tidak berkumpul dengan semua sanak saudara.

Bagi pemerintah, pelarangan mudik juga tentunya telah melalui pertimbangan risikonya. Dilematis memang. Di satu sisi pemerintah harus meningkatkan kehidupan ekonomi yang terpuruk selama pandemi.

Sedangkan di sisi lain, pemerintah juga harus menjaga kesehatan masyarakat. Jangan sampai terjadi seperti di India yang mengalami "Tsunami Covid-19" pascakegiatan kegamaan. 

Arus mudik dari kota ke desa sebenarnya bisa memutarkan ekonomi rakyat. Triliunan uang bisa berputar di daerah. 

Ekonomi rakyat bisa bangkit, tapi mungkin jika arus mudik dibuka lebar-lebar, maka risiko kesehatannya akan lebih berat dibandingkan manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat.

Ibarat berkendara, mainkan rem dan gas dengan seimbang agar aman dan nyaman saat berkendara. Begitu pun yang saat ini dilakukan berkaitan dengan penanganan Covid-19. 

Di satu sisi ekonomi harus berjalan dan di sisi lain, kesehatan masyarakat pun perlu diperhatikan. Jangan sampai kasus Covid-19 terus bertambah. 

Data Satgas Covid-19 menunjukkan bahwa ada kenaikan kasus Covid-19 pascalibur panjang. Inilah hal yang diantisipasi oleh pemerintah dengan adanya kebijakan melarang mudik lebaran Ramadan tahun ini.

Penyekatan di jalur mudik tidak jarang menyebabkan gesekan antara aparat kepolisian dan para pemudik yang ingin diizinkan atau memaksakan diri untuk menerobos pos penyekatan. Ratusan ribu kendaraan pemudik diputarbalikkan oleh polisi, tapi ada juga yang berhasil lolos.

Pemudik saat ini ibaratnya sedang perang gerilya. Mencari celah untuk lolos dari pemeriksaan petugas. Komunikasi yang baik tentunya diharapkan dilakukan disampaikan dari petugas kepada para pemudik agar suasana tetap kondusif. Walau kadang cuaca yang panas dan tubuh yang letih menyebabkan emosi mudah terpancing.

Di zaman digital memang penuh dengan segala kemudahan, termasuk masalah komunikasi. Pertemuan bisa dilakukan secara virtual melalui aplikasi Video Call atau video conference, tetapi memang tidak dapat dipungkiri pertemuan tatap muka lebih afdhol dibandingkan dengan pertemuan virtual. Acara makan bersama enaknya ya dilakukan bersama di satu tempat secara tatap muka. Bukan hanya saling memperlihatkan makanan didepan kamera laptop atau HP.

Uang bisa ditransfer, barang bisa dipaketkan, rindu bertemu dengan keluarga walau berat mungkin masih bisa ditahan, tapi "rasa" dan "sensasi" mudik tidak bisa digantikan dengan hal-hal yang bersifat digital atau virtual. Ketupat dan opor ayam bisa dipesan secara online dari toko terdekat, tapi mungkin nikmatnya tidak sebanding dengan ketupat dan opor ayam buatan orang tua sendiri di kampung halaman dan dimakan sambil bercengkarama. 

Doa kepada anggota keluarga yang telah meninggal bisa dipanjatkan setiap setelah salat, tapi ingin berziarah kubur, langsung memanjatkan doanya di depan pusara makamnya.

Oleh karena itu, ada yang memaksakan diri untuk mudik walau harus main kucing-kucingan dengan aparat. Ada yang mudik lebih awal sebelum pemberlakuan larangan mudik.

Pandemi Covid-19 telah berdampak luar biasa terhadap kehidupan. Saat ini manusia memasuki era kenormalan baru kehidupan (new normal). Semua tatanan kehidupan yang telah ada selama ini menjadi ambyar, termasuk meng-ambyar-kan kegiatan mudik lebaran yang telah menjadi tradisi selama puluhan tahun dilakukan di Indonesia. 

Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir agar larangan mudik tidak mencapai tahun ketiga. Jangan sampai menyamai rekor Bang Toyib yang tiga kali puasa dan tiga kali lebaran tidak pulang ke kampung halaman.

Oleh: IDRIS APANDI

(Pemerhati Masalah Sosial)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun