RAMADAN DAN SOAL TOA
Oleh: Â IDRIS APANDI
Penulis Buku Aku, Ramadan, dan Literasi
Â
Bulan ramadan adalah bulan yang memiliki posisi khusus bagi umat Islam. Kuantitas dan kualitas ibadah pada bulan tersebut cenderung mengalami peningkatan. Sambil ngabuburit, kumandang azan maghrib menjadi sangat dinantikan. Walau di zaman canggih ini untuk mengetahui jadwal waktu maghrib sangat mudah seperti melalui TV, radio, dan smartphone, tapi ada warga masyarakat yang belum berani buka puasa atau merasa belum afdhol kalau belum terdengar kumandang azan dari musala atau masjid di dekat rumahnya. Alasannya, azan di TV atau radio takut kecepetan.
Demikian pula dengan waktu sahur. Walau untuk membangunkan sahur, bisa saja orang menyetting alarm pada HP masing-masing, tapi suara orang membangunkan sahur dari pengeras suara masjid dan musala yang suka disebut toa tetap diperlukan. Justru suara orang membangunkan sahur dengan gaya yang khas menjadi ciri tersendiri pada bulan suci ini. Selain digunakan untuk membangunkan sahur, pengeras suara juga digunakan untuk tadarus Al-Qur'an hingga datangnya waktu imsyak. Di daerah tertentu, cara membangunkan sahur selain menggunakan pengeras suara, juga dengan cara keliling kampung. Sekelompok orang, biasanya remaja menyeru agar warga bangun dan makan sahur sambil memukul alat-alat tertentu.
Masalah toa pada bulan ramadan kadang menjadi polemik atau pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ada yang merasa terganggu dengan suara toa saat membangunkan sahur dan ada juga yang merasa hal tersebut sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan merasa senang karena bulan ramadan terasa lebih semarak dengan saling bersahutannya toa dari masjid dan musala.
Walau demikian, sikap toleransi memang perlu diperhatikan. Jangan sampai, niat baik ingin membangunkan sahur justru berdampak kurang baik. Perlu diperhatikan karakteristik wilayah atau perumahan. Apalagi perumahan yang warganya heterogen, terdiri dari berbagai agama. Bahkan kompleks perumahan yang mayoritas muslim pun perlu memerhatikan masalah toleransi terkait penggunaan toa tersebut, karena mungkin saja ada warga yang sakit atau ada bayi yang perlu istirahat.
Fungsi toa memang sebagai pengeras suara. Walau sudah ada grup WA, di kampung-kampung toa bukan hanya digunakan untuk azan dan iqamat saja, tetapi juga untuk pemberitahuan-pemberitahuan lainnya seperti berita duka cita, pengumuman dari desa atau kelurahan, pengumuman kegiatan posyandu, pengumuman kerja bakti, pengumuman rapat RT/RW, dan sebagainya.
Berkaitan dengan penggunaan toa pada bulan ramadan, khususnya saat membangunkan sahur, menurut saya tidak perlu terlalu dijadikan polemik. Intinya, gunakan toa secara proporsional, tidak berlebihan, kembangkan sikap toleransi. Misalnya, waktu membangunkan sahur mulai pukul 3 dini hari, jangan terlalu sering menyeru dengan suara yang keras, dijadwal pada menit-menit tertentu, dan disampaikan dengan cara dan bahasa yang simpatik, tidak berteriak-teriak yang berpotensi mengganggu orang lain.
Kalau saya secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada warga yang suka membangunkan sahur dengan menggunakan toa di masjid atau musala, karena dia termasuk yang bangun paling awal dan berinisiatif membangunkan orang lain, jangan sampai ada yang bangun kesiangan atau tidak sahur sama sekali. Sahur hukumnya sunat. Dalam sahur ada keberkahan. Rasulullah Saw mengajarkan agar umat Islam mengakhirkan sahur jelang datangnya waktu imsyak supaya setelah sahur tidak tidur kembali, dilanjut dengan salat subuh subuh berjemaah.