Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghidupkan Ekonomi Rakyat pada Masa Pandemi dengan Membeli ke Pedagang Keliling atau Warung Tetangga

19 Desember 2020   23:28 Diperbarui: 19 Desember 2020   23:43 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENGHIDUPKAN EKONOMI RAKYAT PADA MASA PANDEMI MELALUI MEMBELI KE PEDAGANG KELILING DAN WARUNG TETANGGA

Oleh: IDRIS APANDI

(Pemerhati Masalah Sosial)

"Bala... bala... bala... bala... Neng bade (baca=mau beli) bala-bala?" suara itu sudah sangat akrab terdengar hampir setiap pagi dari seorang ibu yang berjualan bakwan yang di kalangan masyarakat Sunda disebut bala-bala, yaitu gorengan yang terbuat dari campuran terigu, engkol, dan wortel. Saya beserta keluarga pun cukup sering membeli dagangannya. Disamping memang perlu untuk sarapan, juga untuk membantunya, karena uang beberapa ribu perak baginya adalah hal yang sangat berharga.

Beres pedagang bala-bala, datang tukang cilok, combro, yang sering juga disertai dengan membawa dagangan lalapan atau sayuran. Saya pun beli lagi. Tujuan utamanya untuk membantu agar dagangannya cepat habis. Uang 5 -- 10 ribu saya keluarkan untuk membeli dagangannya. Baru juga selesai tukang cilok, datang tukang pindang. Dia memanggul dagangannya dalam dua wadah dan menawarkan beberapa jenis pindang, seperti ikan bawal, emas, tongkol, dan sebagainya. Kadang saya membelinya untuk lauk makan siang atau makan malam.

Beres tukang pindang, datang tukang sayuran. Dia menjinjing sayuran yang masih segar dan beberapa jenis bumbu dapur. Saya pun membelinya. Selain untuk membantu, juga memang butuh. Daripada pergi ke pasar, mending beli dari pedagang keliling saja.

Kalau harga sedikit lebih mahal dari harga di pasar, ya wajar saja. Dia kan berdagang memang untuk mendapatkan keuntungan. Dia berkeliling kampung pun berkorban waktu dan tenaga. Itu yang harus dipertimbangkan, sehingga saya tidak berani menawar harga dagangannya.

Beres tukang sayuran, datang tukang jamu. Dia menawarkan berbagai jenis jamu. Saya sendiri seringnya membeli jamu anti pegal linu. Anggota keluarga yang lain membeli jamu sesuai dengan kebutuhannya. Selesai tukang jamu, ada yang suka menawarkan daging ayam potong. Rentang pukul 6 s.d. 8 pagi adalah saat dimana pedagang keliling bergantian datang ke rumah saya.

Kadang saya habiskan uang sampai 100 ribu di waktu pagi untuk membeli dagangan-dagangan mereka. Walau saya pun harus mengurut dada karena harus mengatur keuangan saya, tapi saya merasa senang kalau bisa membeli dagangan mereka.

Senyum bahagia mereka menjadi kebahagiaan bagi saya. Mereka bukan orang-orang yang tidak saya kenal, tapi mereka adalah tetangga yang memang mengandalkan hidupnya dari berdagang kecil-kecilan. Bahkan mereka ada yang bukan menjual barangnya sendiri, tetapi menjual dagangan milik orang lain, lalu mereka mengambil upah dari setiap dagangan yang berhasil terjual. Bisa dibayangkan berapa penghasilan yang mereka dapatkan dalam satu hari.

Kadang saya suka prihatin melihat mereka berjualan pagi-pagi dalam kondisi hujan. Walau mereka membawa payung, tetapi tetap saja pakaiannya basah. Orang yang membeli pun tidak sebanyak saat cuaca cerah. Terbayang dagangannya lakunya sedikit atau bahkan tidak laku.

Jangankan untung, modalnya saja tidak kembali. Para pedagang kecil banyak yang menjadi sasaran rentenir atau "bank emok". Mereka meminjam untuk modal usaha. Ada yang usahanya lancar dan bisa mencicil pinjaman, tetapi ada juga yang justru semakin terjerat hutang.

Selain pedagang keliling, yang tidak boleh dilupakan pun adalah warung tetangga. Mereka pun sama-sama menantikan pembeli, sama ingin dagangannya laku, sama-sama berharap keuntungan untuk meneruskan usaha dan kehidupannya. Jangan suka menawar atau bahkan ngutang ke warung tetangga. Kasihan. Modal mereka sedikit. Kalau banyak yang ngutang, usahanya bisa bangkrut.

Kadang orang dengan suka cita mengeluarkan uang ratusan ribu untuk belanja di mini market. Para pembeli pun tergiur oleh barang-barang promo atau diskon yang ditawarkan toko. Awalnya tidak berniat untuk membeli, tetapi karena promo atau diskon, maka dia pun akhirnya membelinya walau tidak terlalu membutuhkan.

Kondisi pandemi dimana banyak yang terjadi PHK dan buruh yang dirumahkan, banyak diantaranya yang banting setir menjadi pedagang, baik dagang secara konvensional atau dagang di media sosial atau online shop. Intinya hal ini dilakukan untuk mempertahankan hidup.

Walau pun pemerintah memberikan bantuan sosial (bansos) bagi warga miskin atau yang terkena PHK, tetapi hal tersebut tidak mencukupi seluruh kebutuhannya. Mereka perlu mencari nafkah sendiri agar dapur tetap bisa ngebul.

Gerakan belanja ke warung tetangga atau pembeli asongan sebenarnya sudah dikampanyekan sekian tahun yang lalu, tetapi, pada kondisi saat ini, hal tersebut menjadi sarana untuk saling membantu dan menggerakkan ekonomi rakyat yang terpuruk.

Dengan membeli dagangan dari watung tetangga atau pedagang asongan yang datang ke rumah-rumah (jika kita memiliki uang tentunya) sama saja dengan menyambung hidup mereka beserta keluarganya. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun