PENINGKATAN MUTU LITERASI UNTUK AKM YANG BERMUTU
Oleh: IDRIS APANDI
(Prakisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
 Salah satu bentuk dari Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) adalah Asesmen Kompetensi Mininum (AKM) kepada siswa kelas 5 SD/MI, 8 SMP/MTs, dan 11 SMA/MA/SMK.Â
Sekolah walah setiap sekolah pada jenjang tersebut wajib mengikutinya, tetapi sasaran siswanya sampling. Kelas 5 SD/MI maksimal sebanyak 30 orang, sedangkan kelas 8 SMP/MTs, dan 11 SMA/MA/SMK maksimal 45 orang. AKM tidak ada kaitannya dengan kelulusan siswa dari satuan pendidikan.
AKM bertujuan untuk memotret atau memetakan kemampuan siswa pada literasi (membaca) dan numerasi (berhitung). Membaca dan berhitung merupakan dua kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang siswa. Sebenarnya hal ini bukan hal yang baru.Â
Dulu, waktu saya belajar di SD (1986-1991), guru mengajarkan Calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Para peserta didik di-drill oleh guru agar bisa calistung.Â
Walau calistung diajarkan dari kelas 1, tetapi ada juga siswa yang kelas 2, 3, bahkan 4 baru bisa membaca atau menulis dengan lancar. Hal ini disebabkan karena tingkat kecepatan belajar setiap siswa berbeda.
Dalam konteks saat ini, membaca bukan hanya artikan hanya bisa membaca kata kalimat, atau paragraf, tetapi lebih kepada memaknai, menganalisis, atau mengkritisi sebuah bacaan. Membaca pun bukan hanya diartikan membaca teks, tetapi juga "membaca" konteks yang tentunya lebih luas dari sekadar membaca teks.
Begitu pun dalam konteks berhitung, bukan hanya mengenal angka atau dapat melakukan operasi penjumlahan yang sederhana, tetapi lebih kepada menganalisis data dalam bentuk angka-angka, menghubungkan data yang satu dengan lainnya, menyelesaikan permasalahan yang disertai data, angka-angka, dan sebagainya.
Membaca dan berhitung sebenarnya adalah dua literasi dasar. Secara sederhana literasi diartikan sebagai kemelekkan. Oleh karena itu, orang yang melek terhadap sebuah informasi atau pengetahuan suka disebut sebagai orang literat.Â
Dalam konteks saat ini, literasi bukan hanya diidentikkan dengan kemampuan membaca saja, tetapi kemampuan untuk memilih dan memilah informasi, menyikapi sebuah informasi secara kritis, dan dapat mengambil sebuah keputusan berdasarkan data dan fakta yang ada.Â
Dengan demikian, keputusannya tersebut logis, rasional, dan terukur alias tidak asal mengambil keputusan atau keputusan yang didasarkan suka atau tidak suka. Semua bidang kehidupan tidak akan lepas dari literasi, karena literasi sangat diperlukan sebagai "kompas kehidupan" setiap manusia.
Dalam pelajaran bahasa Indonesia biasanya diajarkan berbagai teknik membaca agar mudah membaca kata, kalimat, atau paragraf, mulai dari mengeja, membaca senyap, membaca nyaring, sampai teknik membaca cepat sesuai dengan jenjang siswanya. Selain keterampilan membaca, para siswa juga diajarkan untuk memahami serta mengambil makna dari sebuah teks.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah upaya untuk meningkatkan minat baca-tulis siswa. Tentunya hal tersebut perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh kesabaran karena banyak tantangan yang dihadapi baik dari dalam maupun luar sekolah. tantangan dari dalam misalnya terkait semangat dan dukungan kepala sekolah dan para guru, motivasi siswa yang rendah, dan sarana yang kurang mendukung. Adapun tantangan dari luar sekolah, misalnya terkait dampak media dan gawai yang lebih menarik bagi siswa.
Para guru pembimbing telah melakukan berbagai upaya agar budaya literasi di sekolah dapat tumbuh dan berkembang. Mungkin saja ada yang tidak mendapatkan tantangan yang serius, tetapi ada yang mendapatkan tantangan yang serius, sehingga kegiatan literasi di sekolahnya jalan di tempat atau bahkan meredup karena kurang dukungan dari berbagai pihak terkait.
Aktivitas membaca buku nonteks 15 menit sebelum pembelajaran, adanya pojok baca, pohon literasi, majalah dinding (mading), dan perpustakaan sekolah merupakan beberapa upaya yang dilakukan untuk menumbuhkembagkan budaya literasi.Â
Perlu terus digali cara-cara kreatif lainnya, sehingga literasi bisa membumi sekolah, tidak dianggap sebagai proyek temporer, tetapi menjadi sebuah kebutuhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan mutu sekolah.
Terkait dengan AKM, sejumlah pegiat literasi berpendapat bahwa jika kegiatan AKM ingin mendapatkan hasil yang baik, maka budaya literasi di kalangan siswa harus diperkuat.Â
Soal-soal AKM yang rencananya mengacu kepada soal-soal standar PISA atau olimpiade internasional berisi stimulus berupa cerita, berita, studi kasus, tabel, grafik, atau bagan yang harus dipelajari atau ditelaah sebagai bagian dari proses menjawab pertanyaan pada soal tersebut.Â
Dalam konteks pembelajaran, hal ini erat kaitannya dengan membangun kemampuan berpikir kritis (critical thinking) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS).
Peningkatan kemampuan berpikir kritis atau kemampuan literasi siswa bukan dalam bentuk men-drill siswa dengan contoh-contoh soal, karena khawatir nanti terjebak seolah AKM sama dengan UN, padahal bentuk dan tujuannya berbeda. Hal yang perlu dilakukan oleh guru adalah mendesain pembelajaran yang bisa merangsang kemampuan berpikir kritis siswa.Â
Model pembelajaran seperti pembelajaran berbasis masalah (problem based learning/PBL), menyingkap/menemukan (inquiry/discovery), dan pembelajaran berbasis masalah (project based learning/PjBL) atau model pembelajaran yang lainnya bisa digunakan oleh guru untuk mewujudkan hal tersebut.
Model-model pembelajaran tersebut telah banyak dilatihkan seiring dengan diimplementasikannya Kurikulum 2013 (K-13). Selain itu, para guru pun telah dilatih mengimplementasikan pendekatan saintifik (ilmiah) yang disebut 5 M, yaitu (1) mengamati, (2) menanya, (3) mengumpulkan informasi, (4) mengasosiasikan/menalar, dan (5) mengomunikasikan.Â
Hal tersebut adalah bentuk upaya untuk menumbuhkembangkan budaya literasi, karena siswa didorong untuk aktif menjadi subjek belajar. Pengalaman belajar menjadi hal yang sangat berharga bagi mereka untuk membangun makna dari materi yang telah dipelajari. Inilah yang disebut sebagai pembelajaran konstruktivisme.
Dalam proses pembelajaran, para siswa dirangsang atau dipancing untuk menyampaikan gagasan, pendapat, kritik, atau didorong untuk mengerjakan sebuah proyek sebagai bentuk kreativitas mereka. Dengan demikian, mereka akan terbiasa melakukan langkah-langkah yang bersifat saintifik dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Jelang AKM, jangan sampai guru-guru mengambil jalan pintas, yaitu men-drill siswa untuk soal-soal latihan, sedangkan proses pembelajaran yang merangsang kemampuan berpikir kritis kurang diperhatikan.Â
Men-drill siswa dengan soal-soal latihan, menurut saya hanya untuk kepentingan jangka pendek saja, bukan bertujuan untuk menghasilkan siswa yang literat dan memiliki kemampuan berpikir kritis, sedangkan AKM tumpuannya kepada proses pembelajaran, bukan sekadar ingin melihat hasil belajar.
AKM bukan tujuan akhir, tetapi merupakan tujuan antara untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang berdampak terhadap peningkatan prestasi siswa. Ayo tingkat mutu literasi menuju AKM yang bermutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H