Meski bukan sebuah pilihan terbaik, Belajar Dari Rumah (BDR) tetap merupakan pilihan relatif aman untuk mengantisipasi penularan virus Covid-19.
Idealnya, pada saat BDR, guru menyiapkan materi ajar dan strategi pembelajaran BDR. Para peserta didik idealnya belajar dengan semangat walau dalam keterbatasan. Orangtua pun idealnya menemani dan mendampingi anak saat BDR.
Untuk mewujudkan BDR yang efektif, para guru banyak telah melakukan berbagai upaya, baik melalui pembelajaran secara daring (dalam jaringan/online) maupun secara luring (luar jaringan/offline).
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dihadapkan pada berbagai tantangan seperti masalah sarana dan prasarana (smartphone/ laptop), sinyal internet yang kurang stabil, bahkan sama sekali tidak ada akses internet. Belum lagi soal beban biaya kuota internet walau dalam perkembangannya Kemendikbud memberikan bantuan kuota internet bagi guru dan peserta didik.
Walau berbagai upaya telah dilakukan agar BDR efektif dan menyenangkan, hasil survei dari beberapa lembaga menghasilkan data yang relatif sama, yaitu siswa dan orang tua jenuh dengan BDR.
Begitupun dengan para guru. Banyak yang merasa jenuh dengan pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jadi, intinya, ketiga pihak tersebut sama-sama merasa jenuh.
Saat guru melaksanakan pembelajaran daring melalui video conference, ada peserta didik yang mengakalinya dengan menghidupkan video di awal pembelajaran dan setelah itu videonya dimatikan dengan alasan menghemat kuota internet atau supaya sinyalnya lebih bagus.
Entah, apakah dia mengikuti pembelajaran dengan seksama sampai dengan akhir atau tidak. Saat mengumpulkan tugas melalui google classroom, ada peserta didik yang copas tugas dari temannya dengan sedikit modifikasi agar tidak diketahui oleh guru, walau tentunya guru pun tidak semudah itu diakali oleh peserta didiknya.
Ada cerita yang lebih "dramatis" di balik BDR, yaitu ada peserta didik bunuh diri (walau belum tentu BDR sebagai penyebab utamanya), ada peserta didik yang memilih menikah atau dinikahkan oleh orang tuanya, atau lebih memilih bekerja membantu orang tua karena sudah bingung apa yang harus dilakukan selama BDR.
BDR yang awalnya dianggap menjadi alternatif solusi yang paling aman menghindari penularan Covid-19, kini justru dinilai menjadi masalah: Pertama, terjadinya penurunan kualitas belajar (learning loss), dan kedua peserta didik menjadi lupa (baca: malas) dengan sekolah karena sudah merasa terbiasa belajar dari rumah.
Mereka dikhawatirkan sudah tidak lagi menganggap penting belajar dari rumah. Tadinya, mereka rindu dengan guru dan temannya, tapi seiring dengan berjalannya waktu, maka rasa rindu itu kian pudar, karena ikatan emosional yang semakin lemah.
Saya kira banyak pihak setuju bahwa keberadaan guru tidak bisa digantikan dalam sebuah pembelajaran, tetapi kalau BDR sampai berbulan-bulan, tidak tertutup kemungkinan muncul anggapan dari peserta didik bahwa mereka cukup berguru kepada mbah google saja kalau hanya sekadar mengejar ilmu pengetahuan karena mbah google lebih "pintar" dibandingkan dengan guru.
Kemendikbud sebenarnya telah mengambil kebijakan beberapa kebijakan dalam menyikapi PJJ pada masa pademi ini, seperti relaksasi dana BOS, subsidi internet bagi guru dan peserta didik, guru tidak wajib tatap muka 24 jam dalam satu minggu, guru tidak dituntut untuk mencapai semua target kurikulum, dan memberikan 3 (tiga) pilihan kirikulum yang akan digunakan, yaitu (1) tetap menggunakan kurikulum 2013, (2) menggunaka kurikulum dalam kondisi khusus, dan (3) mengembangkan kurikulum sendiri. Walau demikian, kejenuhan tetap saja terjadi karena BDR yang sudah berlangsung lama.
Kegiatan Belajar Mengajar tatap muka yang terukur
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang telah direvisi, sebenarnya sudah dibuka peluang Kegiatan Belajar Mengajar (sleanjutnya ditulis KBM) tatap muka di sekolah yang berada di zona hijau dan zona kuning. Walau demikian, dalam praktiknya nampaknya masih ada keraguan dalam pelaksanaannya.
Pemerintah pusat menyerahkan kebijakan pembukaan kembali sekolah kepada pemerintah daerah, tetapi pemerintah daerah pun tidak sertamerta mengizinkan KBM tatap muka.
Alasannya, pembukaan kembali sekolah harus sangat hati-hati, jangan sampai sekolah menjadi cluster penularan Covid-19. Kepala sekolah tidak bisa berbuat banyak karena mereka pun takut disalahkan kalau memaksakan untuk membuka KBM tatap muka di sekolahnya walau sekolahnya sudah siap dengan protokol kesehatan.
Adalah hal yang dapat dipahami jika pemerintah sangat berhati-hati dalam membuka kembali sekolah untuk KBM tatap muka. Berbeda dengan pada bidang lain seperti perdagangan, industri, dan pariwisata yang telah diberikan kelonggaran, bidang pendidikan masih sangat belum ada rencana untuk diberikan kelonggaran.
Walau demikian, jika BDR dilakukan terlalu lama, maka perlu juga dipertimbangkan kondisi psikologis para peserta didik. Jangan sampai mereka malas sekolah bahkan menganggap sekolah tidak penting lagi.
Menurut saya, pelaksanaan KBM secara terukur dengan protokol kesehatan yang ketat. Kalau perlu kepala sekolah, guru, peserta didik, tenaga kependidikan di test swab terlebih dahulu sebelum KBM tatap muka dibuka kembali. Tentunya hal tersebut difasilitasi oleh pemerintah.
Januari 2021 sepertinya bisa dipertimbangkan menjadi momentum yang tepat untuk membuka kembali KBM tatap muka karena merupakan awal semester baru/genap.
Mendikbud Nadiem Makarim dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa PJJ bukan hal yang diharapkan dan bukan hal yang ideal, tapi karena situasi dan kondisi yang memaksa demikian. Bagi Kemendikbud, PJJ adalah sebuah dilema.
Oleh karena itu, KBM tatap muka tidak tertutup kemungkinan akan dibuka kembali dalam waktu dekat. Kalau pun KBM tatap muka kembali dilakukan, maka yang akan diprioritaskan adalah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) karena daerah tersebut banyak terkendala sinyal internetnya. Prosedur KBM tatap muka sebagaimana yang tercantum pada SKB 4 Menteri tentunya menjadi pedoman utama.
Walaupun misalnya sekolah telah dibuka kembali untuk KBM tatap muka, hal-hal baik yang telah dilakukan pada saat PJJ daring bukan berarti ditinggalkan. Penggunaan Learning Management System (LMS) seperti Google Classroom sebaiknya tetap dipertahankan.
Begitupun aplikasi video conference seperti Zoom, Webex, Google Meet, atau Microsoft Teams dapat dipadukan dengan pembelajaran tatap muka. Begitupun semangat guru untuk menguasai Teknologi Komunikasi dan Informasi jangan sampai menurun.
Tahun 2021 Kemendikbud berencana akan melakukan digitalisasi pembelajaran. Berbagai aplikasi pembelajaran dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran secara daring akan menjadi modal penting untuk mewujudkan hal tersebut.
Semoga dilema BDR dapat segera dapat diatasi. Ada solusi yang terukur, efektif, dan penuh perhitungan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Kemendikbud terkait dengan pembukaan kembali KBM tatap muka untuk menyelamatkan masa depan generasi muda yang mengalami penurunan kualitas belajar saat BDR.
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H