Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Guru yang Tampil Beda dengan Menulis

29 Oktober 2020   18:37 Diperbarui: 29 Oktober 2020   18:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hal ini membuktikan bahwa seorang guru kreatif tenaga dan pikirannya akan diperlukan untuk menyusun sebuah produk yang akan digunakan oleh rekan-rekannya. Bukan hanya level lokal, tapi juga nasional, bahkan untuk digunakan oleh guru-guru Indonesia yang mengajar di sekolah Indonesia di luar negeri (SILN). 

Hal tersebut tentunya menjadi kebanggaan bagi mereka, karena mereka adalah sedikit guru yang memiliki kesemapatan dari sekian banyak guru yang berharap memiliki kesempatan yang serupa. 

Dampak dari menulis, selain mendapatkan kepuasan batin, para guru penulis itu mendapatkan hadiah atau penghargaan dari pemerintah baik dalam bentuk uang, barang, kesempatan melanjutkan studi, umrah, bahkan jalan-jalan ke luar negeri secara gratis.

Sebagai seorang tenaga profesional, menulis seharusnya menjadi bagian dari budaya akademik atau budaya intelektual seorang guru, karena dia harus menyusun bahan ajar, menulis hasil penelitian, menulis praktik terbaik (best practice) pembelajaran, dan sebagainya. 

Walau demikian, diantara sekian banyak guru yang telah menulis banyak tulisan, tidak sedikit yang mengalami kesulitan atau bahkan malas menulis. Oleh karena itu, bersyukurlah guru yang memiliki kemampuan menulis. 

Kemampuan menulis tersebut tidak datang dengan sendirinya, tetapi didapatkan melalui belajar dan latihan secara terus menerus. Mereka bisa mengalahkan rasa minder, kurang percaya diri, dan khawatir tulisannya "dibantai" atau dikritisi oleh orang lain. Mereka tetap mau mencoba menulis hingga akhirnya mereka menemukan karakter atau gaya menulisnya.

Mungkin saja ada guru yang mengawali kegiatan menulis hanya bermodal niat yang kuat dan modal "nekat". Prinsipnya yang penting menulis dulu, soal kualitas nanti berproses, karena tidak ada karya yang langsung baik atau sempurna. Pisau pun bisa tajam karena sering diasah. 

Bukan hanya sekali atau dua kali. Oleh karena itu, dia tetap terus belajar dan berlatih menulis. Kritikan dan "pembantaian" yang diterimanya tidak membuatnya putus asa dan berhenti menulis, tetapi dijadikan sebagai motivasi dan pelecut semangat untuk meningkatkan kualitas tulisannnya.

Guru yang terampil menulis akan lebih dikenal dibandingkan dengan guru yang tidak menulis. Mengapa demikian? Karena ada karya yang dihasilkannya. Pemikirannya tersebar ke berbagai wilayah dan dibaca oleh orang lain. 

Di era media sosial seperti saat ini sangat mudah bagi guru untuk menyebarkan karya-karya tulisnya. Karya-karyanya tersebut akan menjadi saksi sejarah bahwa dia pernah ada dan memberikan manfaat bagi orang lain. Sudah waktunya guru keluar dari zona nyamannya dan mencoba tantangan baru yaitu dengan menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun