SANTRI DAN KEWIRAUSAHAAN
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Â
Sejak tahun 2015, setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Hal ini sebagai bentuk penghormatan pemerintah dan negara terhadap kiprah santri baik pada saat sebelum kemerdekaan RI maupun pascakemerdekaan RI. Pembangunan  bangsa dan negara ini tidak bisa lepas dari peran santri, baik dalam artian santri yang identik dengan orang yang belajar ilmu agama di pesantren maupun santri dalam artian manusia yang memiliki pribadi yang nyantri, yaitu seseorang bukan ustaz tapi memiliki ilmu agama yang dalam, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah).Â
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang sudah ada sejak zaman prakemerdekaan. Hingga saat ini, pesantren sudah banyak berjasa mencerdaskan bangsa melalui santri-santri yang berkiprah dalam berbagai bidang. Bukan hanya pada agama, tetapi pada bidang sains, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Di era digital dan revolusi industri 4.0 saat ini, menurut saya, pesantren bukan hanya perlu membekali para santri dengan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dimana Beliau berdagang dari Mekkah hingga negeri Syam (Syiria). Dengan kata lain, selain seorang Rasul yang tugasnya menyebarkan agama Islam, Beliau pun seorang pedagang yang ulung, tangguh, jujur, dan sukses. Oleh karena itu, hal ini perlu menjadi pemicu semangat bagi pesantren untuk membangun jiwa kewirausahaan kepada para santri sebagai bentuk mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.
Seorang santri setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren tidak melulu menjadi ustaz, tetapi ada juga ada juga yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI/POLRI, karyawan swasta, dan ada yang berwirausaha. Santri yang menjadi pegawai atau yang membuka wirausaha, menurut saya tetap memerlukan ilmu kewirausahaan.
Bagi pegawai, kewirausahaan yang dimaksud adalah nilai-nilainya seperti kreativitas, inovasi, pantang menyerah, berani mencoba upaya-upaya baru, membangun jejaring dengan pihak lain, dan sebagainya. Bagi yang membuka usaha sendiri, yang diperlukan bukan hanya nilai-nilai kewirausahaannya, tetapi juga memiliki keterampilan tertentu yang bisa menjadi bekal untuk membuka usaha.
Sebuah pepatah sunda mengatakan "ilmu tuntut, dunya siar" yang artinya perlu adanya keseimbangan antara mencari ilmu dengan pemenuhan kebutuhan dunia. Begitu pun para santri. Di satu sisi mereka diberikan bekal ilmu agama yang akan mereka amalkan saat merema berkiprah di masyarakat, dan disisi lain, mereka pun perlu memiliki keterampilan untuk membuka usaha, jangan sampai mereka menggantungkan bantuan dari pemerintah dan dari donator dalam perjuangannya menyebarkan ilmu agama di tempat tinggal mereka. Dengan kata lain, mereka menjadi manusia yang mandiri dan berdaya dan mandiri secara ekonomi. Dengan memiliki usaha, mereka bisa fokus mengajarkan ilmu agama di tempat tinggal mereka, karena tidak khawatir dengan masalah ekonomi, walau pun kalau bicara hakikat, tentunya urusan rezeki diatur oleh Allah SWT.
Saya pernah mendengar ceramah dari seorang kiai yang mengatakan bahwa barang siapa yang berjuang menyebarkan agama Allah disertai dengan niat karena Allah (lillaah), maka Allah akan mencukupi kebutuhan dunianya. Hal terebut telah banyak terbukti dalam kehidupan sehari-hari dimana para kiai dan ustaz yang setiap hari mengajar para santri, tidak memiliki usaha tetap, tetapi mereka tetap dapat menghidupi keluarganya. Mengapa? Karena ilmunya berkah, Allah yang menjamin kehidupannya. Rezeki tidak perlu dikejar-kejar oleh mereka, tetapi rezeki itu sendiri yang mendatangi mereka dalam bentuk silaturahmi dari orang tua santri dan dari para donatur.