Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Kreatif di Masa Pandemi

14 Juni 2020   22:38 Diperbarui: 11 Juni 2021   12:35 7379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rangka meningkatkan minat dan daya baca siswa, sejak tahun 2015, Kemendikbud meluncuran Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Bentuk kegiatannya antara lain; pembiasaan membaca buku nonteks selama 15 menit sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, baik membaca senyap maupun nyaring, baik terbimbing atau pun mandiri.

Lalu ada readhaton (membaca secara massal yang biasanya dilakukan di halaman sekolah), pembuatan jurnal atau laporan bacaan, pembuatan pohon literasi, pemanfaatan majalah dinding (mading), pemanfaatan perpustakaan sekolah, dan sebagainya. Bahkan untuk memotivasi sekolah melaksanaka GLS, diadakan berbagai lomba atau penghargaan terkait literasi bagi siswa dan guru penggerak literasi.

Awal gerakan ini diluncurkan tampak semarak. Setiap sekolah ingin memperlihatkan bahwa sekolahnya pun aktif menyelenggarakan GLS.

Mereka memosting berbagai kegiatan GLS di media sosial, mengikuti kegiatan literasi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, organisasi profesi guru, maupun oleh lembaga swadaya masyarakat, dan menerbitkan buku hasil karya para guru dan siswa-siswanya.

Dalam perjalannya, GLS tampak terseok-seok di sekolah. Penyebabnya beragam. Antara lain; adanya rasa bosan dari guru penggerak dan siswa, kurangnya variasi sumber bacaan, kurangnya dukungan kepala sekolah, kurangnya dukungan dari rekan sejawat dari guru penggerak literasi di sekolah, kurangnya pembinaan pengawas, kurangnya sarana penunjang GLS, dan sebagainya.

Memang ada yang mencoba terus konsisten menggerakkan literasi di sekolahnya, tapi tidak sedikit yang pada akhirnya mati suri, dan sedikit dibangunkan kembali pada saat sekolah mau diakreditasi.

Baca juga: Keanehan Literasi di Daerah Perbatasan RI-Timor Leste

Pasca pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia awal Maret 2020, maka kegiatan belajar tatap muka di sekolah pun dihentikan, diganti dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Konsekuensinya, kegiatan literasi secara langsung di sekolah pun terhenti. Tidak ada lagi aktivitas membaca 15 menit sebelum pembelajaran dan aktivitas lainnya terkait literasi. 

Ada guru yang mencoba menghidupkan Gerakan literasi secara daring/ digital, tetapi kendala kepemilikan smartphone/laptop, buku/sumber bacaan, terlebih kendala kuota internet di kalangan siswa menjadikan hal tersebut berjalan kurang optimal. Jangankan untuk menjalankan aktivitas membaca buku nonteks sebagai "suplemen" dalam kegiatan dalam pembelajaran, untuk mempelajari materi pokok dalam pelajaran saja, banyak siswa yang mengalami kendala sinyal dan kuota internet.

Disaat geliat literasi di kalangan siswa mengalami penurunan, justru saya melihat geliat gerakan literasi di kalangan guru. Banyak guru yang pada akhirnya terpaksa atau dipaksa mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) karena tuntutan pengelolaan pembelajaran secara daring. Banyak webinar yang diikuti oleh guru sebagai sarana untuk meningkatkan wawasan mereka. Dengan kata lain, di masa pandemi ini, ada tren peningkatan aktivitas literasi digital di kalangan guru.

Hal ini tentunya adalah tren yang cukup baik, walau sebenarnya tanpa ada pandemi Covid-19 pun, para guru sudah selayaknya meningkatkan wawasan dan keterampilannya dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, atau ada hikmah dibalik musibah. Walau terkesan apologi, tetapi hal tersebut bisa menjadi sebuah representasi adanya peningkatan semangat belajar bagi para guru dalam penguasaan TIK. Apalagi saat ini trennya adalah guru penggerak untuk mewujudkan merdeka belajar bagi para siswa.

Baca juga: Belajar Daring: Pembelajaran Efektif Upaya Meningkatkan Keterampilan Literasi di Masa Pandemi?

Saya yakin, orang yang peduli terhadap literasi berharap bahwa gerakan literasi tidak mati suri di tengah pandemi apalagi berhenti sama sekali. Para pegiat literasi tetap berkarya, baik secara individu, maupun secara berkelompok. Guru penggerak literasi di sekolah tetap menghidupkan ruh literasi di kalangan peserta didiknya walau menghadapi keterbatasan. 

Maksud literasi di sini tidak hanya identik dengan membaca buku saja, tetapi dalam konteks yang lebih luas dan dikaitkan dengan Covid-19. Selain untuk menambah wawasan, juga untuk membangun kecakapan hidup (life skill) dan penguatan Pendidikan karakter (PPK) utamanya rasa ingin tahu dan gemar membaca.

Para siswa bisa mengamati lingkungan sekitar rumahnya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Menuliskan jumlah kasus Covid-19 di lingkungannya (jika ada).  Mengamati dan menuliskan sikap dan respon masyarakat terhadap Covid-19, mengidentifikasi langkah-langkah yang dilakukan oleh pengurus lingkungannya dalam mencegah penularan Covid-19, menuliskan pendapatnya sebagai individu, sebagai makhluk sosial, sebagai warga negara, atau sebagai hamba Tuhan YME terkait dengan masalah tersebut. Selanjutnya para siswa bisa diminta untuk membuat puisi, gambar, poster, atau video terkait pencegahan Covid-19, dan berbagai tugas lainnya.

Dengan demikian, kendala-kendala teknis seperti tidak adanya buku-buku bacaan untuk siswa dapat teratasi. Inilah yang saya sebut sebagai literasi kreatif di era pandemi. Ibarat sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. 

Satu tugas yang diberikan kepada siswa bisa bersentuhan dengan beberapa jenis literasi seperti literasi baca-tulis, literasi kesehatan, literasi lingkungan, literasi numerasi, literasi finansial, literasi teknologi informasi, literasi spiritualitas, literasi seni-budaya, dan literasi kewarganegeraan. Intinya, kembali kepada kreativitas guru dalam memberikan penugasan kepada para siswa.

Terkait tugas literasi, guru tidak perlu memberikan satu tugas yang sama kepada setiap siswa, tetapi guru dapat memberikan alternatif tugas atau produk yang bisa dikumpulkan oleh siswa, sehingga siswa tetap merasa senang mengerjakan tugasnya. Dalam hal ini, guru memperhatikan beragamnya kecerdasan dan bakat siswa.

Baca juga: Mengubah Mindset, Pekerjaan Berat Gerakan Literasi yang Inklusif di Indonesia

Walau dalam kondisi pandemi, semangat untuk menumbuhkan gerakan literasi jangan sampai padam. Tidak perlu dilakukan ecara secara seremonial atau dinyatakan secara resmi bahwa tugas yang diberikan kepada siswa itu adalah gerakan literasi, karena khawatir dianggap menjadi beban baru bagi siswa mengingat bahwa kondisi psikologi siswa disaat pandemi harus dijaga alias jangan sampai stres.

Memang tidak mudah membangun budaya literasi. Jangankan pada saat darurat seperti ini, pada saat kondisi normal pun, tantangannya luar biasa. Berliterasi memang harus dilandasi dengan hati agar tidak merasa terbebani, harus penuh dedikasi, bahkan harus menjadi hobi agar tetap senang dijalani.

Kegiatan literasi dimasa pandemi bisa menjadi sarana untuk mendorong masyarakat, khususnya para siswa untuk beradaptasi dengan kenormalan baru (new normal) baik di rumah, lingkungan tempat tinggalnya, atau jika suatu saat masuk kembali ke sekolah.

Di tengah banyaknya hoaks terkait Covid-19, literasi bisa menjadi benteng untuk menahan beredarnya hoaks tersebut. Hoaks bertujuan untuk menciptakan keresahan dan kekhawatiran di masyarakat, dan ada pihak tertentu yang mencoba mengambil keuntungan dari penyebaran hoaks tersebut.

Produk literasi kreatif di masa pandemi disamping menjadi sarana kreasi, juga menjadi sarana untuk sosialisasi informasi, komunikasi, dan apreasiasi kepada berbagai pihak yang terlibat menanggulangi pandemi melalui berbagai penjuru negeri. Produk literasi dapat pula menjadi barang yang bernilai secara ekonomis. Kepada para pegiat literasi, mari tetap pelihara semangat berliterasi sebagai wujud bakti untuk negeri. Literasi jangan sampai mati suri di saat pandemi. Wallaahu a'lam.

LITERASI KREATIF DI MASA PANDEMI

Oleh: IDRIS APANDI

(Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ, Penulis Buku Literasi atau Mati)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun