MEMBANGUN ASA DI TENGAH BADAI CORONA (9)
Oleh: IDRIS APANDI
Â
Seperti biasa, selepas maghrib, aku beserta istri dan kedua anakku beristirahat sejenak dan mempersiapkan diri untuk mengikuti salat Isya dan salat tarawih.Â
Aku pun berpesan kepada istriku untuk membawa sisa es pisang ijo untuk dibagikan kepada jemaah. Setelah beres salat tarawih, aku kembali mendatangi ketua DKM, pak Haji Maman. "Pak Haji, ini maaf, ada sedikit es pisang ijo untuk Jemaah yang tadarusan.Â
Ucapku kepada Pak Haji Maman. "Alhamdulillah. Jazakallaah khairan katsira. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda ya pak Husni." Pak Haji Maman menerima titipan es pisang ijo dariku dan mendoakanku. "Aamiin yra." Mks Pak haji atas doanya.
Plong rasanya saat mendengarkan doa dari orang lain, karena yang aku dengar dari pak ustaz waktu ikut pengajian bahwa doa adalah senjatanya orang mukmin. Semoga saja semakin banyak yang mendoakan, semua urusanku dimudahkan. Baru beberapa langkah kaki keluar dari masjid, terdengar ada yang memanggil-manggil namaku dengan suara yang agak tinggi.
"Pak Husni... Pak Husni..." Aku pun menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang, asal suara tersebut. Ternyata di belakangku ada pak Salman, salah satu tetanggaku yang memanggilku sambil berjalan cepat mengejarku. Aku dan dia sama-sama pulang salat tarawih. "Iya pak. Ada apa?" aku pun menoleh padanya. "Bisa ngobrol sebentar?" Pak Salman mengajakku ngobrol, entah apa yang ingin dibicarakannya. "Boleh pak. Tapi Bagaimana kalau ngobrolnya di rumah saya saja? Biar lebih santai pak." Jawabku kepadanya sambil menawarkan agar ngobrolnya di rumahku. "Baiklah pak kalau begitu." Pak Salman menyetujuinya dan mengikutiku menuju rumahku.
Sesampainya di rumah, aku memanggil istriku. "Bu, ini ada pak Salman, tolong buatkan air buat Beliau." Pintaku padanya. "Jangan merepotkan pak. Saya enggak lama kok pak." Pak Salman menimpali. "Gak apa-apa pak. Hanya air putih saja kok. Mohon maaf, saya tidak punya kuenya pak." Aku menanggapi ucapannya sambil melihat istriku membawa dua gelas air putih, untukku dan untuk pak Salman.
"Gini pak. Kebetulan saya mau mengecat rumah. Saya perlu dua orang tukang cat. Saya tadi sudah minta pak Wawan untuk mengecat rumah saya. Dia menyanggupinya, karena kebetulan sedang menganggur. Â Nah, saya juga sekarang menawari pak Husni, barang kali mau mengecat rumah saya pak.?" Ucap pak Salman kepadaku. "Alhamdulillah, mau pak. Kebetulan saya sudah dua bulan tidak bekerja. Dirumahkan dari pabrik tempat saya bekerja. Terima kasih pak." Tanpa berpikir panjang, aku menerima tawaran dari Pak Salman. Aku senang sekali menerima tawaran pekerjaan ini, semoga dari upah mengecat rumah pak Salman bisa untuk menambah biaya dapur dan modal dagang.
Dalam kondisi sulit saat ini, kerja apa saja, yang penting halal. Di berita yang ditayangkan sebuah TV, aku pernah melihat ada pilot yang banting setir jadi pengemudi ojol, pengacara yang nyambi menjual masker, atau karyawan hotel yang di-PHK bertani untuk bertahan hidup. Bagi yang telah berkeluarga, memang sangat terasa dampak dari wabah Corona ini. Mereka menanggalkan gengsi tidak berpikir lagi urusan besar kecilnya upah, tetapi minimal ada penghasilan.
"Kapan mulai kerjanya pak?" Tanyaku kepada Pak Salman. "Kalau bapak siap, mulai besok saja pak." Jawab pak Salman. "Berkaitan dengan upah kerja, saya mau ngasih  upah Rp 100.000,00 per hari. Itu bersih pak ya. Tanpa makan.  Soalnya saat ini 'kan bulan puasa. Dan kerjanya dari pukul delapan pagi sampai empat sore. Bagaimana pak?" Pak Salman meneruskan perkataannya. "Siap pak. Terima kasih." Aku sanggupi saja, tanpa banyak pikiran. Yang penting ada penghasilan yang halal.
"Baik kalau begitu pak, saya pamit. Besok saya tunggu di rumah ya." Ucap Pak Salman sambil berdiri dan bersalaman denganku. "Iya pak. Terima kasih sekali bapak Sudha memberikan pekerjaan untuk saya." Jawabku sambil mengantar Pak Salman ke teras rumah. "Sama-sama pak. Assalamu'alaikum." Ucap pak Salman sambil meninggalkanku.
"Pak Salman nyuruh kerja apa pak?" Tanya istriku padaku setelah aku masuk kembali ke dalam rumah. "Itu bu, dia nyuruh bapak mengecat rumahnya." Jawabku dengan singkat. "Oh, alhamdulillah. Berapa hari kerjanya." Tanya istriku lagi. "Ga tahu bu. Bapak mah sedisuruhnya saja. Namanya orang kerja." Jawabku lagi. "Ayo kita tidur bu. Takut nanti kesiangan sahur." Aku mengajak istriku beristirahat, sedangkan kedua anakku Rendi dan Ayu sudah tidur lelap.
Selama aku menunggu datangnya kantuk, aku merenung, apakah pak Salman adalah jawaban dari doa-doaku, doa keluargaku, dan doa dari pak haji Maman, ketua DKM? Tanpa diduga dia memberikan aku pekerjaan. Yang pasti aku berkeyakinan bahwa Tuhan tidak tidur. Allah Mahamendengar setiap keluhan dan harapan hamba-hamba-Nya. Hanya hamba-Nya yang suka kurang sabar menunggu datangnya pertolongan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H