Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Corona Membuatku Merana, tapi Tak Boleh Putus Asa (2)

3 Mei 2020   15:11 Diperbarui: 3 Mei 2020   15:17 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CORONA MEMBUATKU MERANA, TAPI TAK BOLEH PUTUS ASA (2)

Oleh: IDRIS APANDI

Aku pun mengeluarkan sepeda motor bebekku yang kusimpan di ruangan dekat dapur. Sejak aku dirumahkan dari pabrik tempatku bekerja, motor itu lebih banyak nganggur alias disimpan di ruangan dekat dapur daripada dikendarai. Hanya sewaktu-waktu saja mesinnya kupanaskan atau aku gunakan jika ada keperluan saja. 

Aku menggunakan masker, sarung tangan, helm, dan jaket karena sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, setiap pengendara motor harus menggunakan perlengkapan tersebut kalau tidak ingin diberi surat peringatan dari polisi yang berjaga dan memeriksa pengguna jalan, mengingat di beberapa tempat sudah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah pemudik dari luar daerah.

Mesin motor pun kuhidupkan, jarum indikator BBM menunjukkan BBM-nya tinggal setengah lagi. Semoga saja cukup untuk pergi dan pulang dari rumah pak Haji Kurdi. Jarak rumahku ke rumahnya sekitar 15 km. Berarti kalau PP, jarak tempuhnya sebanyak 30 km. Sebelumnya aku sudah menghubungi Pak Haji Kurdi. Aku menyampaikan bahwa aku akan bersilaturahim ke rumahnya. Dan alhamdulillah, dia bersedia untuk menerimaku. Sebenarnya aku malu, tapi tak ada pilihan lain, karena terdesak oleh kebutuhan, aku pun memberanikan diri datang ke rumahnya.

Tahun 2011 sampai dengan 2015 aku pernah bekerja di percetakannya pak Haji Kurdi, tetapi karena aku tergiur dengan upah di pabrik yang lebih besar, maka aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari percetakannya. Walau berat hati, dia pun mengizinkan aku untuk mengundurkan diri, karena menurut dia, adalah hakku untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Penerbit miliknya bukanlah penerbit besar dan selalu ada order percetakan yang banyak, sehingga dia pun tidak bisa memberikan upah yang besar kepada karyawannya, sedangkan kalau pabrik ada UMR yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Waktu menunjukkan pukul 09.00. Cuaca cukup cerah, sinar matahari mulai terasa memanasi kulit. Bismillah, aku pun memacu sepeda motorku menuju rumah pak Haji Kurdi di daerah Pagarsih Bandung. Sepanjang jalan aku berdoa dan berharap semoga ikhtiarku berhasil. Pak Haji Kurdi bersedia meminjamiku uang, karena aku sangat membutuhkannya.

Aku sudah memasuki setengah perjalanan, tepatnya sudah sampai di lampu merah Pasteur. Lampu merah menyala sekitar 10 menitan. Para pengguna jalan harus sabar menunggu lampu hijau menyala. Lalu lampu hijau pun menyala. Aku memacu kendaraanku pelan-pelan. Selepas lampu merah, dari kejauhan tampak aparat kepolisian berjaga dan memeriksa setiap pengendara yang melewati Pasteur.

Aku pun diberhentikan oleh polisi. Oleh polisi aku ditanya surat-surat kendaraan, tujuan perjalanan, dan dicek suhu tubuh. Aku agak khawatir juga, jantungku berdetak kencang, takut disuruh putar balik oleh polisi. Alhamduillah, aku dibolehkan melanjutkan perjalanan karena surat-surat kendaraanku lengkap dan suhu tubuhku tidak melebihi 37 derajat celcius.

Singkat cerita, aku sampai di rumah pak Haji Kurdi. Aku memencet gerbang rumahnya, lalu ada seseorang yang keluar hendak membuka gerbang. Ternyata itu adalah Ferdi, anak ketiga pak Haji Kurdi. Dia tampak sudah remaja. Saat terakhir aku melihatnya, dia masih pelajar SMP. "Eh pak Husni, silakan masuk pak." Dia menyapaku dengan ramah. 

"Terima kasih Dek Ferdi." Ucapku sambil melewati pintu gerbang. "Bapak ada Dek? Tanyaku padanya. "Ada pak." Jawabnya singkat sambil melangkah ke arah pintu rumah.

Sambil berjalan, aku memperhatikan lingkungan rumah pak Haji Kurdi. Warna cat temboknya masih abu-abu, sama dengan saat aku datang ke rumahnya untuk mengundurkan diri tahun 2015. Terlihat bersih. Mungkin karena sudah dicat kembali dengan warna yang sama. Rumahnya semakin asri dengan adanya taman dan bunga-bunga yang ditanam di depan rumahnya.

"Silakan duduk pak. Nanti saya sampaikan kepada Bapak bahwa ada Pak Husni mau ketemu dengan Bapak." Ucap Ferdi padaku sambil mengarahan tangannya ke kursi tamu. "Terima kasih Dek." Ucapku sambil duduk. Tak lama kemudian pak Haji Kurdi datang menemuiku. "Apa kabar pak Husni? Lama kita tidak bertemu ya." Dia menyapaku dengan wajah yang sumringah dan mengajak bersalaman. 

Aku yang sedang duduk pun berdiri dan menyambutnya. "Alhamdulillah kabar baik pak Haji. Iya pak. Lebih dari lima tahun kita tidak bertemu. Terakhir kita ketemu 'kan tahun 2015 waktu saya meminta izin mengundurkan diri dari percetakan." Ucapku padanya sambil berupaya menenangkan diriku, karena terus terang, aku canggung bertemu kembali dengannya. Rasa malu dan rasa bersalah bercampur dalam dadaku. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun