CORONA MEMBUATKU MERANA, TAPI TAK BOLEH PUTUS ASA
Oleh: IDRIS APANDI
 "Pak, uang belanja tinggal 10 ribu lagi." Ucap istriku kepadaku sambil memperlihatkan dompetnya yang berisi selembar uang Rp10.000,00. Hal tersebut seolah menjadi pesan darinya bahwa uang belanja sudah mau habis dan memintaku untuk memberikan tambahan uang belanja padanya.Â
Apalagi saat ini bulan puasa, biasanya pengeluaran pun menjadi lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan biasa, karena harus mempersiapkan menu buka puasa dan menu sahur.
"Iya bu. Nanti bapak kasih tambahan uang belanjanya." Jawabku, dengan singkat padanya. Aku menjawab seperti itu bukan berarti aku punya uang, tetapi hanya sekadar untuk menenangkan istriku saja. Aku sendiri sebenarnya sudah tidak punya uang lagi. Dompetku hanya berisi KTP, SIM, STNK motor, dan Kartu ATM yang saldonya hanya 25 ribu lagi.
Hampir dua bulan aku dirumahkan dari pabrik tempatku bekerja karena dampak wabah Corona. Setelah itu, aku sama sekali tidak punya penghasilan lagi. Aku beserta istriku bertahan hidup dari dari gajiku bulan lalu.Â
Aku mencoba daftar jadi ojek online, tapi ternyata tidak diterima, karena sudah terlalu banyak. Lagian, saat ini ojek online pun dilarang membawa penumpang, tapi hanya diperbolehkan membawa angkutan barang.
Kegiatanku sehari-hari di rumah banyak diisi dengan membersihan rumah, menemani kedua anakku, Ayu dan Rendi belajar dan mengerjakan tugas dari guru-gurunya.Â
Ayu kelas VII SMP dan Rendi kelas IV SD. Di saat santai, aku mencoba mencari informasi lowongan pekerjaan kepada melalui WA teman-temanku, tapi kondisi saat ini memang sedang sulit. Bukan hanya aku yang dirumahkan, tetapi sebanyak 200-an orang karyawan lainnya pun bernasib sama.
Di tepas rumah, kadang aku suka duduk sendiri, merenung, memikirkan nasibku dan keluargaku di masa datang. Kalau kondisinya begini, aku sulit untuk bertahan. Aku tidak tahu kemana harus mencari pinjaman uang.Â
BPKB motorku sudah kugadaikan tiga bulan yang lalu. Kebetulan aku perlu uang untuk membayar utang kepada temanku, bekas biaya rumah sakit istriku yang dirawat karena sakit maagnya kambuh. Istriku memang mengidap sakit maag sudah cukup lama. Dia suka lupa makan dan makannya kurang teratur.
Mau minjam modal usaha ke bank, aku tidak punya untuk jaminannya, sedangkan kalau meminjam ke bank emok atau rentenir, sama saja aku masuk jebakan mereka. Terbersit juga meminjam uang kepada adikku, Lina tapi aku urungkan, karena dalam kondisi saat ini dia pun pasti kerepotan.Â
Dia hanya seorang ibu rumah tangga yang mengandalkan pemasukkan keluarga dari suaminya yang juga bekerja sebagai karyawan di sebuah mimimarket.Â
Kabarnya, nasib suaminya sedikit lebih baik dariku. Â Dia tidak dirumahkan atau di PHK. Semoga saja tidak mengalami nasib sepertiku, karena dia pun punya anak dan istri yang harus dinafkahi.
Ada temanku yang menyarankan supaya aku mendaftar kartu prakerja tapi belum aku lakukan. Kondisi saat ini, aku beserta anak istriku lebih perlu makan dibandingkan dengan kursus kerja yang belum tentu juga dijamin dapat lapangan kerja. Aku memutar otak bagaimana agar aku dan keluargaku dapat bertahan hidup.Â
Minggu lalu, pak RT datang ke rumahku dan meminta foto copy Kartu Keluarga (KK). Katanya untuk pendataan bantuan dari pemerintah, tapi sampai dengan saat ini bantuan tersebut tak kunjung datang.
"Napa ngelamun pak?" Istriku bertanya padaku.Â
"Enggak apa-apa bu." Jawabku singkat.Â
"Bu, bapak mau ke belakang rumah dulu. Mau menyiram tanaman cabai yang kemarin bapak tanam." Ucapku padanya, sambal beranjak. Aku beranjak darinya tujuan utamanya sebenarnya bukan untuk menyiram tanaman, tapi untuk menghindari jangan sampai istriku ikut-ikutan bingung melihat aku bingung.
Sebagai kepala keluarga, aku tetap harus tegar dan berupaya memberikan nafkah kepada anak dan istriku. Dalam salatku, aku berdoa kepada Allah, semoga tetap diberikan kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi kondisi saat ini, serta diberikan rezeki, karena aku yakin Dia yang Maha memberikan rezeki kepada setiap makhuk-Nya.Â
"Binatang melata saja diberikan rezeki, apalagi manusia." Itu yang membuat aku berusaha untuk tetap tegar dan tenang. Alhamdulilah, Ayu dan Rendi juga tidak ngeyel. Mereka mau buka puasa atau sahur dengan menu seadanya. Mungkin mereka memahami kondisi orang tuanya saat ini yang sedang susah.
Setelah menyiram tanaman di belakang, aku mau coba pak haji Kurdi, majikanku saat aku bekerja di percetakan miliknya. Siapa tahu dia bisa meminjamiku uang. Dia dikenal dermawan dan bersedia membantu orang yang kesusahan. "Bu, bapak mau silaturahmi dulu ke Pak Haji Kurdi." Ucapku kepada istriku.
"Iya pak. Hati-hati di jalan." Kata istriku sambil mencium tanganku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H