Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pandemi Covid-19 dan Penguatan Pendidikan Keluarga

9 April 2020   22:28 Diperbarui: 11 April 2020   15:01 2750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tetap belajar meski di rumah. (sumber: pixabay)

"Di sekolah, para siswa diposisikan sebagai pengguna yang harus dilayani dengan baik oleh guru, sedangkan di rumah, orang tua cenderung merasa memiliki otoritas penuh terhadap anaknya, sehingga yang muncul lebih dominan pendekatan top-down." 

Selama empat minggu kegiatan belajar dari rumah, para orang tua merasakan beratnya menjadi guru bagi anak-anak mereka. Di media sosial beredar curhatan orang tua berkaitan dengan tugas barunya tersebut, sekaligus apresiasi kepada para guru yang selama ini mendidik anaknya dengan penuh kesabaran.

Ada pula anak yang curhat  dalam bentuk pantun bahwa gurunya di rumah (orang tuanya) lebih galak daripada gurunya di sekolah. Ada pula anak yang nangis-nangis ingin segera kembali belajar di sekolah.

Pola pendidikan sekolah memang berbeda dengan pola pendidikan di rumah. Di sekolah, para siswa diposisikan sebagai pengguna yang harus dilayani dengan baik oleh guru, sedangkan di rumah, orang tua cenderung merasa memiliki otoritas penuh terhadap anaknya, sehingga yang muncul lebih dominan pendekatan top-down.

Orang tua merasa lebih kuat dibandingkan dengan anak. Oleh karena itu, suara yang keras kadang sering dijadikan sarana untuk menekan anak agar dia mau belajar.

Di sekolah, para guru merasa para siswa adalah anak orang lain yang diamanatkan ke sekolah untuk dididik oleh mereka. Oleh karena itu, para guru begitu hati-hati dalam melakukannya.

Para siswa pun cenderung lebih takut kepada gurunya (sebagai dampak takut tidak diberikan nilai) dibandingkan kepada orang tuanya, sehingga mereka lebih taat saat belajar di sekolah.

Di rumah, para siswa ada yang cenderung kurang takut kepada orang tuanya, bahkan ada yang sulit disuruh belajar karena merasa "gurunya" juga adalah orang tuanya sendiri, dan tidak khawatir mendapatkan nilai jelek, karena memang orang tua tidak diberikan ruang untuk menilai secara administratif.

Oleh karena itu, sering terjadi perang urat syaraf antara orang tua dengan anak karena anaknya sulit disuruh belajar, dan orang tua kurang sabar saat membimbing anaknya. 

Biasanya anak seusia SD yang sulit disuruh belajar di rumah, sedangkan anak usia SMP atau SMA/SMK relatif lebih mandiri dan sudah memiliki tanggung jawab terhadap diri dan tugas-tugasnya.

Dengan dilaksanakannya kegiatan belajar dari rumah, maka anak selama 24 jam ada di rumah, dan hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua. Adapun guru, hanya memantau saja secara daring.

Dalam konteks pendidikan keluarga, kegiatan belajar dari rumah bisa menjadi momentum penguatan pendidikan berbasis keluarga. Mengapa

Karena para anggota keluarga banyak memiliki waktu untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain.

Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak adalah unit terkecil sebuah masyarakat. Kegiatan beribadah, misalnya salat berjemaah bagi keluarga muslim.

Mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersama, makan bersama, berolah raga bersama, bermain games bersama merupakan bentuk-bentuk kegiatan yang bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kedekatan antaranggota keluarga yang dalam kondisi normal sulit bertemu.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka orang tua memang perlu mengetahui dasar-dasar dan pola mendidik anak. Kelembutan, komunikasi, disiplin, cinta kebersihan, cinta keindahan, saling menghargai, saling menghormati, saling menyemangati, sikap demokratis, dan nilai-nilai lainnya dapat dikembangkan melalui pendidikan keluarga. 

Dalam hal ini, orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya, karena keteladanan adalah kunci keberhasilan pendidikan dalam keluarga.

Kreativitas pun bisa digali melalui momentum berkumpulnya para anggota keluarga. Misalnya, seorang ibu harus kreatif dalam menyiapkan berbagai menu makanan bagi suami dan anak-anaknya, termasuk harus kreatif mengatur biaya dapurnya, karena menjadi lebih sering memasak di rumah.

Orang tua juga jadi lebih kreatif memotivasi dan merayu anaknya agar mau belajar, agar lebih disiplin, dan agar tidak boros jajan. Bahkan ada orang tua yang membuat kontrak atau kesepakatan dengan anak-anaknya agar tidak boros jajan.

Selain itu, setiap keluarga juga menjadi lebih tertantang untuk lebih kreatif membuat hiburan atau games untuk mengusir kebosanan. Disamping permainan yang konvensional, berbagai aplikasi media sosial menjadi sarana untuk menyalurkan kreativitas itu. 

Ada yang ngevlog, membuat podcast, bermain tik-tok, dan sebagainya. Ada juga yang membaca, menulis, melukis, tahsin Al Qur'an, dan sebagainya. Apapun bentuk kegiatan yang dilakukan, intinya bermanfaat.

Sehubungan dengan semakin dekatnya bulan Ramadan 1441 H dan perpanjangan masa belajar di rumah, kebersamaan dalam keluarga akan semakin banyak, bahkan hingga idulfitri.

Semoga hal ini bisa terus diisi dengan hal-hal yang produktif dan bermanfaat. Dari rumah masing-masing, mari mendoakan agar wabah Corona (Covid-19) yang melanda Indonesia segera berakhir agar anggota keluarga yang dekat dan yang jauh (yang biasa mudik) bisa bertemu dan bersilaturahim saat ramadan dan lebaran tiba.

Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun