Pemerintah memang berharap bahwa kegiatan belajar dari rumah tidak mengurangi kualitas belajar seperti halnya belajar di sekolah. Oleh karena itu, disodorkanlah berbagai aplikasi daring yang bisa digunakan untuk belajar, tapi pada pelaksanaannya, hal ini ditafsirkan beragam oleh guru, termasuk dengan memberikan banyak tugas kepada siswa yang kadang tanpa disertai petunjuk yang jelas dan kurang jelas indikator keberhasilannya, sehingga banyak siswa yang bingung, kewalahan, dan pusing mengerjakannya. Selain itu, diakui atau tidak, banyak orang tua yang kurang siap menjadi "guru dadakan" selama 14 hari, sehingga muncul meme "guru di rumah (baca = orang tua) ternyata lebih galak dibandingkan guru di sekolah", akibat sering terjadinya adu mulut antara anak dan orang tua saat mengerjakan tugas.
Para guru pun merasa terbebani dengan adanya kewajiban melaporkan berbagai administrasi yang berkaitan dengan kegiatan membimbing siswa belajar di rumah secara online, mulai dari harus melampirkan RPP, format pendampingan KBM daring, penilaian, hingga produk/tugas yang dikerjakan oleh siswa.
Menurut saya, sebenarnya pada dasarnya wajar saja pemerintah ingin memastikan bahwa kegiatan belajar tidak terkendala oleh wabah COVID-19, tapi sebaiknya mengurangi hal-hal yang bersifat administratif, karena ujung-ujungnya guru, orang tua, dan siswa yang terbebani, tetapi sebaiknya lebih mengedepankan kepada hal yang bersifat substantif-kontekstual.
Saya setuju dengan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada sebuah wawancara dengan sebuah stasiun TV yang mengatakan bahwa guru sebaiknya tidak banyak memberikan banyak tugas kepada siswa, tetapi cukup tugas yang berkaitan dengan COVID-19. Tujuannya disamping untuk menambah pengetahuan, juga untuk menambah kewaspadaan warga masyarakat agar tidak terkena COVID-19. Nanti pada saat siswa masuk ke sekolah kembali, tugas yang berkaitan dengan COVID-19 tersebut dikumpulkan dan dibahas. Para siswa diminta untuk menceritakan pengalamannya selama belajar di rumah. Jadi, di sini ada sisi edukasi sekaligus literasi kesehatan terhadap masyarakat (siswa dan orang tua).
Dalam konteks sikap, para siswa dibangun kepeduliannya untuk membantu orang tua menjaga kesehatan dan kebersihan selama berada di rumah, belajar saling menghargai, menghormati, dan saling menyayangi sesama anggota keluarga, beribadah atau berdoa bersama, dan sebagainya. Dalam konteks keterampilan, para siswa belajar  belajar untuk praktik membersihkan rumah, merapikan kamar tidur, menjaga kebersihan diri, membuang sampah pada tempatnya, dan sebagainya. Dengan demikian, substansi pendidikan tetap ada selama belajar dari rumah tersebut. Oleh karena itu, substansi pendidikan yang meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan tetap terjadi, tetapi konteksnya dalam konteks pencegahan penularan COVID-19.
Menurut saya, para siswa pun cukup diberi tugas membaca atau mencari informasi berkaitan dengan COVID-19, bacaan yang berkaitan dengan penguatan pendidikan karakter, atau peningkatan budaya literasi, dan dikumpulkannya tidak perlu setiap hari, tetapi dikumpulkannya pada saat masuk kembali ke sekolah. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa kondisi setiap orang tua berbeda-beda, ada yang mampu menyediakan fasilitas belajar yang representatif seperti HP android atau laptop dan ada yang tidak mampu. Hal ini pun perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Berdasarkan kepada hal tersebut, untuk seminggu ke depan, sebaiknya pemerintah / Dinas Pendidikan/ Satuan Pendidikan/ guru mengkaji ulang pemberian banyak tugas kepada siswa. Mari munculkan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bagi siswa selama mereka belajar di rumah. Dibalik kekhawatiran terhadap penyebaran COVID-19, mari bangun juga kemampuan berpikir kritis mereka dengan meminta mereka banyak mempelajari hal tersebut. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H