MENGEVALUASI KEGIATAN BELAJAR DARI RUMAH
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
untuk seminggu ke depan, sebaiknya pemerintah / Dinas Pendidikan/ Satuan Pendidikan/ guru mengkaji ulang pemberian banyak tugas kepada siswa. Mari munculkan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bagi siswa selama mereka belajar di rumah. Dibalik kekhawatiran terhadap penyebaran COVID-19, mari bangun juga kemampuan berpikir kritis mereka dengan meminta mereka banyak mempelajari hal tersebut.
Seminggu sudah para siswa belajar di rumah karena kegiatan belajar di sekolah diliburkan. Sebagaimana diketahui, keputusan meliburkan sekolah dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi peredaran virus Corona (COVID-19) agar tidak semakin mewabah. Pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran dalam jaringan (daring/online) dijadikan sebagai alternatif agar kegiatan pembelajaran dapat tetap berjalan saat siswa belajar di rumah.
Teorinya, guru menjelaskan materi, lalu memberikan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa, kemudian siswa mengerjakannya dengan didampingi oleh orang tuanya masing-masing. Namun, pada pelaksanannya, baru beberapa hari saja hal ini diberlakukan, cukup banyak siswa dan orang tua yang mengeluh, karena begitu banyaknya tugas yang harus dikerjakan oleh anak-anak mereka.
Para orang tua walaupun mendampingi anaknya belajar di rumah, belum tentu bisa membantu anaknya menjawab soal-soal atau mengerjakan tugas-tugas itu, karena mereka punya keterbatasan kemampuan. Adalah benar, orang tua adalah pendidikan pertama dan utama bagi anak, tetapi kalau sudah membantu mengisi tugas-tugas mata pelajaran, mereka belum tentu mampu. Akibatnya, yang terjadi di dalam rumah bukan suasana yang adem, tetapi adu mulut antara anak dan orang tuanya. Dan dalam satu rumah, anak yang belajar dari rumah bukan hanya satu orang, tetapi beberapa orang. Ujung-ujungnya paling menyuruh anaknya mencari jawabannya di mbah google.
Di media sosial beredar meme atau sindiran (satire) yang intinya anak dan orang tua merasa kewalahan dengan tugas-tugas yang diberikan oleh guru, karena saking banyaknya yang harus dikerjakan. Ada yang juga yang mengatakan bahwa kegiatan siswa belajar dari rumah adalah momentum bagi orang tua untuk semakin membangun komunikasi dengan anak karena biasanya jarang bertemu antara satu dengan yang lain dengan alasan kesibukan masing-masing, dan momentum untuk menghormati guru, karena mendampingi satu orang anak belajar saja sudah stres, apalagi guru yang harus mendidik puluhan siswa dalam satu kelas.
Menurut saya, walau antara orang tua dan guru adalah sama-sama sebagai pendidik, tetapi fokusnya berbeda. Orang tua mendidik anaknya lebih fokus kepada sikap, tata krama, akhlak, atau budi pekerti. Walau ada aspek pengetahuan dan keterampilan, hanya yang berkaitan dengan aktivitas atau pekerjaan sehari-hari saja, tidak masuk ke ranah ilmu pengetahuan secara spesifik. Orang tua (itu pun yang mampu) lebih banyak hanya bisa mendukung menyediakan kebutuhan anaknya selama belajar di rumah, seperti HP/Laptop, kuota internet, makanan, minuman, atau cemilan, sedangkan guru memang secara profesional disiapkan untuk menjadi pengajar dan pendidik di sekolah. Guru harus memiliki empat jenis kompetensi, yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4) kompetensi sosial.
Menurut saya, ada dua kompetensi yang kurang dimiliki oleh orang tua dibandingkan dengan guru, yaitu kompetensi pedagogik (didaktik-metodik mengajar) dan kompetensi profesional, kecuali orang tua yang juga berprofesi sebagai guru, walau kadang juga mereka pun merasa ketereran karena belum tentu mengetahui segala jenis ilmu untuk membantu anaknya mengisi soal-soal latihan. Bahkan, kebijakan guru harus tetap masuk sekolah disaat para siswa libur menjadi dilema tersendiri bagi mereka, karena di satu sisi mereka harus membimbing siswa-siswanya belajar secara daring, sedangkan di sisi lain, mereka juga harus mendampingi anaknya belajar di rumah.