HALO MAS MENTERI, BAGAIMANA SOLUSI KRISIS KARAKTER DI INDONESIA?Â
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
Â
Seminggu ini, dunia pendidikan Indonesia diwarnai oleh beberapa peristiwa yang menyedihkan sekaligus memprihatinkan. Pertama, di Kupang NTT, tiga orang siswa di sebuah sekolah SMA mengeroyok gurunya gara-gara gurunya menanyakan daftar hadir siswa kepada mereka. (Detik.com, 4/3/2020).
Kedua, di Riau, seorang oknum orang tua memarahi dan mencaci maki kyai di sebuah pesantren karena tidak terima anaknya dikeluarkan dari sekolah dan tidak dapat mengikuti ujian. (Kompas, 4/3/2020). Ketiga, di Sukabumi Jawa Barat, ada seorang anak yang terpaksa tidak melanjutkan sekolah karena terkendala biaya, padahal anak tersebut sangat berbakat dalam menggambar. (Detik.com, 5/3/2020).
Keempat, saat pemilihan Puteri Indonesia yang ditayangkan secara langsung oleh sebuah stasiun TV swasta (7/3/2020), salah seorang finalis tidak hafal Pancasila. Hal ini menjadi viral dan mengundang pro dan kontra di dunia maya. Banyak warganet yang merundungnya, tapi ada pula yang membela dan membelanya dengan alasan mungkin yang bersangkutan dia gugup atau lupa.
Keenam, di Jakarta, seorang Anak Baru Gede (ABG) yang berusia 15 tahun mengaku telah membunuh seorang anak yang berusia lima tahun karena terobsesi oleh sebuah film horor. Setelah dibunuh, korban dimasukkan ke dalam lemari. Lalu, tanpa rasa bersalah, dia menyerahkan kepada polisi dan mengakui telah membunuh korban. (Tribunnews.com, 8/3/2020).
Beberapa peristiwa tersebut di atas mungkin hanya sebuah gambaran puncak gunung es. Kasus-kasus yang muncul hanya yang di permukaannya saja, padahal banyak kasus yang tidak atau belum muncul. Selain kasus-kasus di atas, cukup banyak kasus yang sering muncul, seperti; tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, prostitusi online yang melibatkan pelajar, dan sebagainya. Oleh sebab itu, wajah pendidikan Indonesia sungguh mengerikan dan semakin mengkhawatirkan.
Bagaimana wajah pendidikan Indonesia di masa depan jika kondisinya seperti ini? Padahal pendidikan merupakan modal yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Bagaimana generasi muda dapat menjadi generasi unggul jika sudah banyak tercekoki dengan berbagai nilai dan budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa? Sedangkan Indonesia pada 2045 akan menghadapi bonus demografi yang disebut sebagai Indonesia Emas dan harus siap bersaing di era revolusi industri 4.0.
Berbagai masalah yang terjadi pada dunia pendidikan tentunya tidak disebabkan oleh satu sebab saja, tetapi disebabkan oleh satu bisa disebabkan oleh beberapa sebab, seperti masalah di keluarga, masalah di sekolah, dampak pergaulan di lingkungan masyarakat, dampak game online, dan dampak tayangan TV yang tidak mendidik.
Anak-anak muda kekurangan teladan, karena banyak orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga abai terhadap anak-anaknya. Mereka menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah, sehingga sekolah tidak ubahnya seperti tempat penitipan anak. Orang tua merasa sudah membayar (atau tidak wajib membayar karena sekolah gratis), sehingga mereka menuntut sekolah harus memintarkan anak-anaknya.
Ukuran prestasi anak hanya berkutat pada pencapaian angka-angka yang tertera pada nilai rapot, sehingga pada saat dibagi rapot, orang tua banyak yang bertanya kepada gurunya, anaknya rangking berapa. Padahal, proses pendidikan bukan hanya urusan pencapaian nilai-nilai pada aspek pengetahuan, tetapi juga aspek sikap dan keterampilan.Â
Saat pembagian rapot, mungkin masih jarang orang tua yang bertanya kepada gurunya berkaitan dengan sikap dan perilaku anaknya selama belajar di sekolah. Misalnya, apakah disiplin, jujur, bertanggung jawab, suka membantu teman, suka meminta maaf jika melakukan kesalahan, suka berterima kasih jika ada yang membantu, menghormati dan menghormati orang lain, dan sebagainya.
Hal ini disebabkan oleh penyempitan makna pendidikan (education) hanya menjadi persekolahan (schooling). Pendidikan berlangsung di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, ada pendidikan pendidikan formal, nonformal, dan informal, sedangkan persekolahan hanya menitikberatkan proses belajar hanya terjadi di sekolah. Peran guru sangat dominan dalam pembelajaran. Guru hanya sebagai satu-satunya sumber belajar.
Proses belajar pun membosankan, sehingga siswa merasakan sekolah ibarat sebuah penjara daripada sebuah taman belajar sebagai yang diamanatkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, sehingga wajar mereka lebih senang saat guru tidak hadir mengajar, dan lebih senang mendengar bel tanda berakhir belajar dibandingkan bel  tanda mulai belajar.
Pendidikan adalah proses internalisasi nilai-nilai atau karakter yang baik kepada para peserta didik sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."
Pasal 3 menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka proses pendidikan disamping memberikan bekal ilmu pengetahuan, juga menanamkan sikap yang baik, dan keterampilan. Maksud keterampilan di sini bukan hanya keterampilan dalam konteks keterampilan motorik saja seperti praktik atau membuat suatu produk, tetapi juga keterampilan atau kecakapan hidup (life skill) sebagai modal sukses di masa depan.
Para pemimpin dan politisi menujukkan pertengkaran dan konflik disertai dengan perkataan, sikap, dan perilaku yang kurang terpuji di media sosial dan di TV. Demi memperjuangkan kepentingan politik, mereka tidak segan saling caci-maki walau disorot kamera dan ditonton jutaan orang. Akibatnya, rakyat pun kehilangan panutan. Rakyat sulit menemukan contoh pemimpin yang mampu menjadi figur role model dan menjadi inspirasi. Dengan kata lain, di negeri ini sangat mudah menemukan politikus, tapi sangat sulit menemukan negarawan.
Solusi untuk mengatasi krisis karakter memang tidak bisa dilakukan hanya oleh salah satu pihak, tetapi harus ada kerjasama atau sinergi dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Â
Walau demikian, Kemendikbud sebagai lembaga yang diberi tugas dan wewenang mengelola pendidikan di Indonesia tentunya memiliki tanggung jawab terbesar.Â
Para pelaku pendidikan di Indonesia tentunya berharap berbagai gebrakan dari Mas Menteri Nadiem Makarim untuk menawarkan alternatif solusi atau kebijakan untuk mengatasi krisis karakter bangsa. Jangan sampai berbagai kasus kekerasan dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya terus mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Selamatkan pendidikan Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H