BELAJAR DARI WAFATNYA TOKOH PANUTAN
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)
Setiap ada orang penting yang meninggal dunia, lini masa media massa sosial banyak yang memberitakannya. Bukan hanya media massa, para warganet (netizen) pun ikut memberitakannya. Rasa duka, kehilangan, dan doa-doa dipanjatkan untuk sang tokoh yang meninggal tersebut. Para pelayat datang silih berganti, berdesak-desakan memanjatkan doa, ikut menyolati jenazahnya (kalau meninggal beragama Islam), dan ikut mengantar ke tempat peristirahatan terakhir sebagai bentuk penghormatan bagi sang tokoh yang meninggal tersebut.
Saat B. J. Habibie presiden ke-3 RI wafat pada tanggal 11 September 2019, bangsa Indonesia begitu kehilangan. Ribuan pelayat datang ke rumah duka dan menghadiri pemakamannya. Begitupun saat K. H. Maimoen Zubair, yang suka dipanggil mbah Moen wafat di Mekkah saat melaksankakan ibadah haji tanggal 6 Agustus 2019, ribuan jamaah haji ikut menyolati jenazahnya.
Jika menurut ke sekian tahun ke belakang, khususnya saat wafatnya presiden ke-4 RI K. H. Abdurrahman Wahid pada tanggal 30 Desember 2009, banyak yang merasa kehilangan, bukan hanya bangsa Indonesia, tapi juga tokoh-tokoh dan warga dunia pun yang berduka dan merasa kehilangan. Gus Dur bukan hanya tokoh penting bagi umat Islam saja, tetapi tokoh bagi lintas agama, karena Beliau dikenal sebagai sosok yang fluralis, humanis, pegiat HAM, dan aktivis demokrasi. Bagi kalangan NU, Gus Dur bukan sosok yang sembarangan, bahkan posisinya disamakan dengan wali. Makamnya bukan hanya diziarahi oleh umat Islam saja, tetapi umat nonmuslim pun suka menziarahi makamnya.
Tanggal 2 Februari 2020, bangsa Indonesia kembali kehilangan seorang ulama kharismatik, sosok pemimpin, cendekia, dan negarawan, yaitu K. H. Solahuddin Wahid yang biasa dipanggil Gus Solah yang wafat karena sakit jantung di RS Jantung Harapan Kita Jakarta.
Para pemimpin, tokoh, dan masyarakat saat ditanya kesan tentang sang tokoh yang wafat tersebut, rata-rata mereka punya kesan yang mendalam, punya jasa yang sangat besar terhadap bangsa dan negara. Dengan kata lain, sang tokoh adalah sosok yang bermanfaat bagi umat, bangsa, dan negara.
Selain ilmu tinggi yang dimilikinya, mereka juga memiliki akhlak atau budi pekerti yang lulur, memiliki visi yang cemerlang untuk kemajuan bangsa dan negara, berjiwa negarawan, serta mampu menjadi perekat bagi keutuhan bangsa. Karya-karyanya banyak dinikmati dan dirasakan manfaatnya, sehingga karya-karya tersebut menjadi monumen bersejarah bagi mereka. Ibarat sebuah pribahasa, "gajah mati tinggalkan gading, harimau mati  tinggalkan belang, dan manusia meninggal akan meninggalkan budi baik." Begitupun dengan tokoh-tokoh penting yang wafat. Mereka meninggalkan budi baik dan karya nyata yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Sebagai bentuk rasa duka atas wafatnya sang tokoh, khususnya yang pernah menjadi pemimpin negara, pemerintah menetapkan hari berkabung nasional dan masyarakat diminta untuk mengibarkan setengah tiang. Sebagai bentuk rasa hormat juga, nama sang tokoh dijadikan nama jalan, nama gedung, nama taman, atau nama ruangan, nama ajang pemberian penghargaan (award) pada bidang tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian, dia akan terus dikenang. Orangnya boleh sudah tiada, tetapi namanya akan tetap ada dalam hati masyarakat. Mengapa? Karena ilmu dan jasa-jasanya yang besar terhadap bangsa dan negara.