Mengawali tulisan ini saya ingin menyampaikan sebuah curhat atau keluhan dari seorang teman yang ingin bisa menulis tetapi merasa takut, kurang percaya diri, bingung harus mulai dari mana. Oleh karenanya, belum ada satu pun tulisan yang selesai dibuatnya.Â
Kalau pun memiliki ide atau unek-unek, hanya berputar-putar dalam angan dan bergejolak dalam dada saja, tetapi saat akan menuliskannya, buntu, tidak kuasa, dan tidak berdaya. Dan akhirnya, ide yang berharga atau unek-unek tersebut hilang ditelan waktu.
Saya kira, selain teman saya tersebut, banyak orang yang mengalami hal yang sama. Mengapa demikian? Intinya, karena tidak merasa merdeka, dalam artian kurang percaya diri, kurang berani, dan tersandera oleh sekian banyak teori dan aturan yang berkaitan dengan tata cara menulis.
Secara psikologis, orang yang tidak merdeka batinnya berarti terjajah, tersandera, atau terpenjara. Hal tersebut tentunya merupakan sebuah kondisi yang tidak nyaman. Dia ingin keluar dari belenggu tersebut lalu bebas bergerak.Â
Dalam konteks menulis, menurut saya, orang bisa merdeka menulis apabila dia melepaskan beban-beban psikologis tersebut. Secara teknis, keterampilan menulis bisa dipelajari. Seiring dengan proses, kualitas tulisannya bisa terus ditingkatkan aasal ada kemauan dan keinginan untuk terus meningkatkan kualitas tulisannya.
Saya berani mengatakan tidak ada satu pun tulisan pertama yang bagus bahkan sempurna. Setiap tulisan pertama hampir bisa dipastikan struktur kalimatnya masih acak-acakan, penggunaan dan penempatan tanda baca kurang tepat sehingga redaksi kurang enak dibaca, masih ada kata yang typo, salah ketik, hubungan antarparagraf kurang nyambung, pemaparan yang kurang jelas dan kurang sistematis, gagasannya flat alias kurang "menggigit", dan sebagainya.
Bagi saya, jika ada tulisan yang seperti itu tidak jadi masalah. Segitu juga sudah berani memulai menulis. Daripada tidak pernah melakukan kesalahan dalam menulis karena memang sama sekali belum pernah mencoba menulis.Â
Bagi saya, tulisan yang bagus adalah tulisan yang selesai. Kita patut mengapresiasi dan menghargai setiap jerih payah orang yang mau menulis. Kalau pun ada kesalahan, Â tulisan tersebut bisa diperbaiki. Dengan kata lain, ada proses belajar dari kesalahan.
Jangan sesekali mematikan semangat para penulis pemula, karena kesalahan yang mereka buat adalah dalam proses belajar untuk menghasilkan karya yang semakin baik. Kritik atau saran boleh-boleh saja, tetapi yang bersifat konstruktif dan semakin meningkatkan motivasi mereka untuk terus berkarya.
Teman saya menyampaikan bahwa katanya kalau mau menulis itu harus sesuai dengan teori dan aturannya, harus hati-hati, jangan sembarangan menulis, karena kalau tulisannya menyinggung perasaan orang lain, bisa terkena urusan hukum, harus melaui riset dulu, dan sederet aturan lainnya. Hal itu memang benar, bahkan sangat benar.Â
Tapi bukan berarti membuat orang mundur dan tidak mau menulis karena takut terkena masalah di kemudian hari, tetapi justru perlu belajar dan dibimbing agar menjadi tahu. Dan untuk memulai menulis, prasyaratnya tidak sekompleks itu. Yang penting ada kemauan dulu untuk  mulai menulis. Sepanjang tulisannya tidak berisi hoaks, fitnah, ujaran kebencian, dan SARA pasti akan aman dari jerat hukum.
Menulis sebagai sebuah aktivitas adalah sebuah proses kreatif, dan sebuah kreativitas memerlukan kemerdekaaan dalam berekspresi. Jika ingin menulis secara merdeka, maka dia harus berani memulai dan membiarkan tangannya menulis sesuai dengan kata hati dan apa yang ada dalam pikirannya. Walau demikian, tentunya tetap dalam kendali alam sadar dan logikanya agar tidak terkena masalah di kemudian hari.
Dalam konsep menulis dengan merdeka, sementara abaikan dulu teori dan aturan tentang tata cara menulis yang baik. Biarkan kata, kalimat, dan paragraf memenuhi kertas yang asalnya kosong. Intinya, yang penting menulis dulu, atau yang penting ada dulu.Â
Nanti juga, setelah sebuah draft tulisan selesai, lalu baca ulang dalam proses editing, akan terasa ada masalah atau akan ditemukan kejanggalan-kejanggalannya. Dan itulah hal yang nantinya perlu diperbaiki.Â
Dan setelah diperabiki, jadilah sebuah tulisan yang baik dan benar. Coba bayangkan kalau belum mulai menulis sudah berpikir terlalu ferfeksionis-idealis atau keder duluan, maka jangankan satu paragraf, satu kalimat pun belum tentu jadi.
Supaya menjadi penulis yang merdeka, maka jadilah diri sendiri, menulis sesuai dengan minat atau passionnya. Tidak ada penulis yang serba bisa menulis berbagai jenis karya tulis.Â
Pastinya dia memiliki spesialisasi pada jenis tulisan tertentu, baik fiksi maupun nonfiksi. Dengan kata lain, ada jenis tulisan yang menjadi unggulan dan andalannya.Â
Kalau pun dia menulis sebuah tulisan yang tidak sesuai dengan passionnya, maka biasanya hanya sekadar sambilan saja, dan hasilnya pun tidak sebaik jika dia menulis tulisan yang sesuai dengan passionnya.
Bagi orang yang berkonsep menulis dengan merdeka, maka hal atau peristiwa apapun akan menjadi inspirasi untuk dibuat tulisan. Bagi dia, menulis adalah sebuah rekreasi intelektual atau sebagai hiburan penghilang penat. Dia begitu menikmati prosesnya, karena dia melakukannya dengan penuh cinta. Dia justru akan puyeng dan gelisah mana kala tidak segera mengeksekusi ide-idenya menjadi sebuah tulisan.Â
Bagi seseorang yang menulis dengan merdeka, maka ide-ide akan mengalir ibarat air yang keluar dari mata air. Bahkan kalau lagi semangat-semangatnya, ide yang muncul ibarat air bah yang mengalir deras yang menuju muara karya. Tulisan yang dihasilkan akan menjadi rekam jejak sejarah sang penulis, akan jadi kebanggaan, dan akan menjadi warisan di masa depan bagi umat manusia.
Saat menulis dengan merdeka, tangan atau jari tangan akan lancar menggoreskan pena atau lincah memencet tut keyboard smartphone atau laptop. Hambatan-hambatan pada saat menulis pun akan terminimalisasi. Kalau pun ada hambatan, sejenak dia berhenti, untuk kemudian dia melanjutkan kembali. Dia akan merasa sayang kalau tulisannya tersebut tidak diselesaikannya.
Menulis dengan merdeka perlu semakin digaungkan ditengah masih banyaknya orang-orang, khususnya kalangan akademisi atau kalangan intelektual, karena saya yakin mereka punya ide atau gagasan yang ingin disampaikan atau disebarkan, tetapi kurang memiliki kepercayaan diri. Menulis hanya dilakukan sebatas untuk memenuhi kebutuhan angka kredit untuk pengembangan profesi saja.Â
Prosesnya tidak dinikmati, bahkan dirasa menyiksa. Istilahnya, andaikan ada pilihan lain untuk mengganti kewajiban menulis, tentunya pilihan tersebut akan dipertimbangkan untuk diambil.Â
Mengapa? Karena menulis boro-boro menyenangkan, tapi yang ada justru menderita. Oleh karena itu, kalau sudah terpenuhi angka kreditnya, dia merasa merdeka, bebas dari belenggu kewajiban yang membebani dirinya.
Bagi orang yang telah menulis dengan merdeka, dia akan merasa ada yang kurang kalau beberapa hari saja tidak menulis. Hidup seperti kurang berarti, karena waktu terbuang percuma.Â
Oleh karena itu, dia segera bergegas mencari atau menjemput ide dan inspirasi untuk dijadikan bahan tulisan. Saya pun saat menulis tulisan ini menerapkan prinsip menulis dengan merdeka. Mengeluarkan unek-unek saya tanpa beban hingga sampai ke paragraf terakhir ini. Merdeka...!!!
MENULIS DENGAN MERDEKA
Oleh:
IDRIS APANDI
(Penulis Ratusan Artikel dan Puluhan Buku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H