MENCARI PAHLAWAN ORISINAL DI ERA POST TRUTHÂ
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Di Indonesia, tanggal 10 November biasa diperingati sebagai hari pahlawan. Agenda yang dilakukan antara lain, ziarah ke taman makam pahlawan, doa bersama, Â renungan, pembacaan puisi, teatrikal, lomba-lomba, dan sebagainya. Pada momentum hari pahlawan, bangsa Indonesia juga diingatkan untuk meneladani sosok para pahlawan bangsa yang memiliki karakter cinta tanah air, rela berkorban, berjuang tanpa pamrih, dan sebagainya.
Perjuangan zaman prakemerdekaan RI 17 Agustus 1945 adalah membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, baik melalui perjuangan fisik maupun cara diplomatik, sedangkan pascakemerdekaan, perjuangannya adalah dalam bentuk mengisi kemerdekaan melalui pembangunan pada berbagai bidang. Setiap warga bangsa diharapkan partisipasinya dalam pembangunan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Secara sederhana pahlawan dimaknai sebagai orang yang berjasa dan memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Saat ini makna pahlawan tidak hanya diidentikkan dengan para pejuang kemerdekaan, tetapi juga dapat disematkan kepada siapapun yang dinilai banyak berkontribusi, banyak membantu, banyak berkorban, menjadi penentu kemenangan, menjadi penyelamat, dan sebagainya.
Seorang ayah bisa disebut sebagai pahlawan bagi keluarganya. Seorang pemain sepak bola yang memasukkan gol kemenangan ke gawang lawan disebut pahlawan. Seorang guru yang mendidik murid-muridnya dengan penuh dedikasi disebut pahlawan. Seseorang petugas pemadam kebakaran yang menyelamatkan seseorang yang terjebak di tengah kobaran api disebut pahlawan. Seorang yang dengan gigih menjaga lingkungan agar tetap lestari itu juga pahlawan. Intinya, banyak sekali figur yang bisa disebut sebagai pahlawan.
Pahlawan bukan hanya orang-orang yang banyak disorot kamera dan dikenal publik, tetapi juga banyak yang bekerja dalam kesunyian dan tidak haus pujian atau popularitas. Biasanya namanya menjadi viral setelah ada yang meliput atau yang memostingnya di media sosial. Dari situ, pujian, apresiasi, dan simpati bermunculan.
Di era pasca kebenaran (post truth) dan era disrupsi (perubahan yang mendasar/ ketidakjelasan/ kekacauan) informasi dengan segala hingar bingar pencitraan media massa dan media sosial, saat ini sulit sekali membedakan mana sosok pahlawan yang asli atau yang dikondisikan sebagai pahlawan. Dengan kata lain, ada pahlawan asli dan ada pahlawan pesanan. Kita pun mengenal istilah pahlawan kesiangan, yaitu orang berlagak sok sebagai pejuang, membela kebenaran dan keadilan, tapi sudah terlambat, atau mencari keuntungan pribadi dari kasus yang dibelanya.
Dengan kecanggihan pencitraan media dan manipulasi informasi oleh para buzzer di dunia maya, bisa dibuat framing, yaitu orang yang jadi korban bisa diposisikan sebagai pelaku, dan pelaku bisa diposisikan sebagai korban. Pahlawan bisa dicitrakan sebagai penjahat, dan penjahat bisa diposisikan sebagai pahlawan.
Paul Joseph Goebels pernah mengatakan "A Lie told once remains a lie, but a lie told thousand times becomes truth" yang artinya sebuah kebohongan yang disebutkan sekali tetap akan jadi sebuah kebohongan, tetapi kebohongan yang diucapkan ribuan kali akan jadi sebuah kebenaran. Dengan kata lain, ada penggiringan opini publik, pembenaran lebih disukai daripada kebenaran. Sebuah informasi lebih disikapi secara subjektif dibandingkan disikapi secara objektif dan proporsional.
Hoaks, berita bohong, dan fitnah adalah hal yang menyertai era post truth dan disrupsi informasi. Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas dan kritis dalam menyikapi setiap informasi yang beredar di media sosial. Jangan asal terima dan asal menyebarkan. Istilahnya saring sebelum sharing. Cek dan ricek, dan pikirkan keberfaidahan dari informasi yang diterima. Intinya, literasi informasi masyarakat harus diperkuat melalui edukasi informasi yang sehat.
Dibalik banyaknya pahlawan-pahlawan hasil framing dan pencitraan, saya yakin masih banyak pahlawan-pahlawan pembangunan yang orisinal, bekerja dalam senyap, tanpa haus popularitas dan pujian, keberadaannya dibutuhkan dan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat.
Sosok-sosok pahlawan orisinal inilah yang diperlukan. Para pejuang kemanusiaan, pejuang lingkungan, pejuang pendidikan, dan pejuang pemberdayaan masyarakat. Mereka membuka jalan keluar dari kesulitan, menjadi leader, menjadi pelopor, dan menjadi agen perubahan bagi masyarakat. Kita tunggu kiprah generasi millennial dan generasi Z untuk menjadi pahlawan di era post truth. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H