PELAJAR IKUT AKSI UNJUK RASA, SALAHKAH?
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar ke Gedung DPR RI di Jakarta dan DPRD di beberapa daerah terkait penolakan pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengundang perhatian banyak pihak khususnya terkait respon atau penanganan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap aksi unjuk rasa yang mereka lakukan. Tercatat dua orang mahasiswa UHA Sulawesi Tenggara meninggal dan cukup banyak mahasiswa yang terluka dan ditahan aparat kepolisian.
Diantara riuh aksi unjuk rasa beberapa waktu yang lalu, keterlibatan pelajar khususnya pelajar SMK (yang kemudian banyak disebut STM) mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat.Â
Pihak yang pro berpendapat bahwa menyampaikan aspirasi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Sepanjang aksi unjuk rasa itu dilaksanakan secara tertib dan damai, mengapa harus dilarang?
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat." Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan bahwa "Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan. tulisan. dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."Â
Lalu pada ayat (3) dinyatakan bahwa "Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum."
Sedangkan pihak yang kontra berpendapat bahwa keterlibatan pelajar SMK dalam aksi unjuk rasa kurang tepat, membahayakan keselamatan mereka, dan tentunya mengganggu ketertiban umum.Â
Para pelajar itu sebaiknya belajar di kelas (dalam artian ruang kelas yang tertutup). Jangan ikut-ikutan aksi unjuk rasa, karena aksi tersebut rentan ditungangi oleh pihak-pihak yang ingin membuat suasana semakin kisruh, apalagi menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Dan juga saat ada siswa yang ditanya mengapa mereka ikut aksi unjuk rasa, dia menjawab tidak tahu. Dia hanya ikut-ikutan saja.
Keterlibatan pelajar dalam aksi unjuk rasa sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Transisi orde lama ke orde baru tahun 1966-1967 para pelajar menyuarakan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik, dan saat ini (2019) pelajar turun ke jalan untuk ikut menyuarakan suara publik kepada para wakil rakyat dan pemerintah.
Dalam skala yang lebih kecil, pelajar juga ada yang melakukan aksi unjuk rasa di sekolah, misalnya menuntut penurunan SPP, menuntut guru yang dianggap sewenang-wenang, atau menuntut kepala sekolah lengser karena diduga mengorupsi dana BOS.Â
Aksi unjuk rasa kecil seperti itu tidak banyak mendapatkan perhatian, karena hanya dianggap aksi spontan pelajar, masih berada di lingkungan sekolah serta tidak berdampak luas terhadap masyarakat. Padahal secara substantif, itu adalah sebuah refleksi dari aspirasi warga negara.
Saya sendiri dalam posisi setuju pelajar melakukan aksi unjuk rasa. Alasannya, selain hal tersebut merupakan hak konstitusional warga negara, dalam konteks pembelajaran, hal tersebut adalah untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka. Bukankah kurikulum 2013 yang saat ini mendorong siswa untuk memiliki keterampilan berpikir kritis (critical thinking)?
Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan abad 21 yang digembor-gemborkan harus diintegrasikan dalam pembelajaran. Keterampilan abad 21 (4C) meliputi (1) Communication (komunikasi), (2) Collaboration (kolaborasi), (3) critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), dan (4) creative and innovative (kreatif dan inovatif).
Keempat kemampuan abad 21 tersebut terlihat dalam aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar. Aksi unjuk rasa merupakan sarana mereka untuk menyuarakan (mengomunikasikan) aspirasi mereka. Komunikasi yang mereka lakukan dalam bentuk lisan (orasi), dalam bentuk tulisan berupa poster, atau pun dalam bentuk aksi teatrikal.
Aksi unjuk rasa dilakukan secara bersama-sama antarelemen mahasiswa dan pelajar. Itu adalah bentuk kolaborasi dalam menyuarakan aspirasi. Jumlah massa kadang menjadi ukuran bobot sebuah aksi unjuk rasa. Kalau aksi dilakukan dilakukan oleh segelintir orang kurang mendapatkan perhatian, tapi kalau dilakukan banyak orang, akan lebih mendapatkan perhatian pemerintah.
Suara-suara yang disampaikan oleh mahasiswa dan pelajar merupakan ekspresi kepedulian dan kekritisan mereka terhadap situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat. Nurani mereka terpanggil untuk ikut mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilainya tidak memihak kepada rakyat.
Selama ini mahasiswa dikritik oleh masyarakat karena mereka dianggap tidak peduli terhadap masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mereka lebih senang kongkow-kongkow di caf dan mall, terlena oleh gim online, dan lebih senang menjadi pemandu sorak atau penonton bayaran acara hiburan di stasiun TV.Â
Pada saat mereka turun ke jalan menyuarakan suara publik, mereka ingin membuktikan bahwa mereka tidak seperti yang dikira oleh masyarakat. Kepedulian dan daya kritis mereka masih ada.
Dalam menyuarakan aspirasinya, selain berorasi secara serius dan berapi-api, mereka melakukannya melalui cara-cara kreatif dan inovatif seperti membuat poster-poster yang nyeleneh dan mengundang tawa, seperti "Cukup rambutku yang berantakan, NKRI jangan.", "Aku yang bolos, tapi DPR kok yang bego.", "jangan matikan keadilan, matikan saja mantanku", "cuti menonton drakor, karena di DPR lebih banyak drama", "kirain hubungan kita saja yang tidak jelas, ternyata DPR juga tidak jelas", dan sebagainya.
Selain kemampuan abad 21 (4C), bukankah siswa dalam kurikulum 2013 didorong untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS)? Dalam konteks teori Bloom yang telah direvisi Krathwol dan Anderson (2002) yang meliputi C-1 (memahami), C-2 (memahami), C-3 (mengaplikasikan), C-4 (menganalisis), C-5 (mengevaluasi), dan C-6 (mencipta/ mengkreasi), ranah HOTS mulai C-4, C-5, sampai C-6.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa dan pelajar merupakan hasil analisis (C-4) mereka terhadap situasi yang kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Mereka melihat ada ketidakberesan yang membuat mereka bergerak dan turun ke jalan.Â
Kalau pun misalnya ada peserta aksi unjuk rasa yang ikut-ikutan, hal tersebut hanya bersifat kasuistis, tidak merepresentasikan aksi unjuk rasa secara umum.
Mereka mengkritisi atau mengevaluasi (C-5) kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang dinilainya tidak pro rakyat. Dan sikap menolak adalah bentuk sikap mereka kebijakan tersebut disertai argumen yang logis.Â
Sikap menolak pun tidak asal menolak, tetapi mereka pun mengajukan alternatif solusi dalam bentuk maklumat atau tuntutan yang disampaikan kepada pemerintah (C-6).
Di sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) ada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Salah satu tujuan tujuan dari PPKn adalah untuk membentuk pelajar dan mahasiswa menjadi warga negara yang kritis, demokratis, peka, peduli terhadap situasi dan kondisi sosial, serta menjadi agen perubahan dalam masyarakat.Â
Dalam mata pelajaran PPKn pun ada materi yang berkaitan dengan kemkerdekaan mengeluarkan pendapat. Oleh karena itu, aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa adalah "pembelajaran di ruang kelas" dalam artian luas (out door class). Jalanan menjadi sarana ekspresi sekaligus "laboratorium demokrasi" bagi mereka.
Guru dan dosen memberikan pemahaman kepada pelajar dan mahasiswa agar melakukan aksi unjuk rasa dengan tertib, aman, damai, santun, dan menaati aturan yang berlaku. Tugas aparat kepolisian adalah mengawal dan memastikan aksi unjuk rasa berjalan tertib, aman, dan damai.Â
Kalau pun ada oknum peserta unjuk rasa yang berbuat anarki, menganggu ketertiban umum, membawa senjata tajam, atau benda-benda yang berbahaya, maka mereka wajib diamankan oleh aparat kepolisian.
Aksi unjuk rasa turun ke jalan memang bukan satu-satunya cara menyuarakan aspirasi kepada para pemimpin atau para pemegang kebijakan, tetapi ada cara-cara lain, diantaranya menulis dalam bentuk surat, puisi, komik, karikatur, gambar, video, dan sebagainya.Â
Ruang-ruang kelas dan ruang-ruang kuliah dijadikan sebagai sarana untuk menambah wawasan dan mematangkan kualitas intelektual mereka agar berargumen tidak asal omong, tetapi argumentatif, berbobot, logis, dan rasional.#pen
Generasi seperti inilah yang diharapkan muncul dari proses pendidikan di Indonesia. Berbahagialah guru, dosen, kepala sekolah, rektor, menteri, bahkan presiden jika generasi-generasi bangsa mampu menjadi generasi yang kritis konstruktif, mampu menjadi agen perubahan, dan mampu menjadi pemberi alternatif solusi terhadap permasalahan  bangsa. Jangan justru dicurigai ditunggangi pihak lain.Â
Sampai dengan saat ini, saya termasuk yang masih percaya bahwa aksi mereka murni dilandasi hati nurani, tidak ada kepentingan politik praktis. Kalau pun diduga ada pihak yang menunggangi agar situasi chaos, maka aparat kepolisian yang bertugas untuk menangkap oknum pelakunya. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H