MENGUBAH PARADIGMA MUDIK LEBARAN, BISAKAH?
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)
Tanggal 10 Juni 2019 semua PNS dan karyawan kantor wajib bekerja pascacutibersama Idulfitri 1440 H. Hari pertama kerja diisi dengan mengisi daftar hadir sebagai tanda sudah masuk kerja (dan supaya terhindar dari pelanggaran disiplin), lalu apel, dan halal bihalal dengan pimpinan dan rekan-rekan kerja. Sambil salam-salaman dan bermaaf-maafan, hal yang paling banyak diceritakan adalah pengalaman mudik, kegiatan selama berlebaran, dan kondisi arus balik.
Di balik warna-warni cerita yang disampaikan oleh mereka, ada satu pengalaman yang relatif sama yaitu "mengalami kemacaten" baik pada saat mudik, bersilaturahmi, atau balik kembali ke perantauan.Â
Di saat perayaan hari besar seperti idulfitri Indonesia yang memobilisasi ratusan juta orang, memang tidak ada jalur yang  bebas macet, Jalan tol yang seharusnya bebas macet, justru menjadi potret kemacetan, bahkan tahun 2016 pernah ada macet horor di tol Brexit yang menyebabkan jatuhnya korban meninggal. Kondisi jalur alternatif pun sama saja, macet, karena kendaraan yang sudah over di jalur utama, diarahkan atau masuk ke jalur alternatif.
Malam jelang hari pertama kerja, kemacetan di tol Cikampek arah Jakarta mengular sampai 20 km. Para pemudik yang besoknya harus kerja tentunya banyak yang ngantuk dan lelah.Â
Perjalanan Bandung ke Jakarta yang biasanya ditempuh antara 2-3 jam, ada yang 6 jam belum sampai ke tujuan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kemacetan parah H-1 masuk kerja, ada PNS dan karyawan kantor yang sudah kembali H+2 lebaran.
Mungkin pemudik yang menggunaan kereta api tidak akan mengalami kisah-kisah kemacetan yang dialami oleh para pemudik yang menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua.Â
Para pemudik yang menggunakan kereta api, walau tetap harus berjubel di stasiun, tetapi perjalanannya relatif lebih terukur dan bisa tepat waktu, kecuali ada insiden seperti keretanya anjlok.
Walau saat ini sudah ada tol trans jawa dan trans sumatera yang diharapkan mampu mengurai kemacetan dan mempercepat waktu tempuh, tetapi kisah-kisah kisah macet itu tetap ada. Memang ada yang mengaku perjalanan mudik dan baliknya lancar, tetapi kisah terjebak kemacetan lebih banyak. Walau jalan tol sudah ada, tetapi jalan umum tetap banyak digunakan.
Ya itulah kisah kemacetan saat lebaran. Kisah yang selalu berulang setiap tahun. Bahkan kemacetan saat mudik sudah dianggap sebagai sebuah tradisi. Istilahnya, "kalau ga macet, ga seru." walau kadang ngedumel dan tersiksa juga mengahadapi kemacetan, apalagi kalau macetnya parah dan lama. Kondisi fisik dan psikis akan terpengaruh. Belum lagi kondisi kendaraan yang rawan ngadat karena mesin yang overheat.
Menurut saya, terjadinya kemacetan di berbagai jalur disamping memang karena volume kendaraan yang tidak sesuai dengan kapasitas jalan yang ada, pasar-pasar tumpah, tempat pariwisata, toko-toko oleh di pinggir jalan, banyak simpangan, juga tidak lepas dari pola pikir masyarakat yang berpandangan bahwa lebaran wajib mudik. Mudik menjadi sebuah ritual sosial yang menjadi sakral sejak puluhan tahun yang lalu hingga kini.
Para pemudik sepenuhnya sadar bahwa mudik ya pasti macet, dan sudah siap-siap bahkan mengantisipasiya dengan memetakan jalur untuk perjalanan mudik. Â Mengapa para pemudik walau sudah tahu resikonya macet, tetapi memaksakan diri untuk mudik? Karena mudik bukan hanya sekedar pulang kampung, tetapi sebuah simbol loyalitas sekaligus penghilang kerinduan terhadap orang tua dan kampung halaman setelah sekian lama tidak bertemu.
Jika dilihat dari pendekatan praktis, di zaman hi-tech ini komunikasi dengan sangat mudah dilakukan melalui smartphone dan menggunakan beragam jenis media sosial, lalu mengirim uang ke kampung halaman dapat dilakukan secara online sehingga dalam hitungan detik bisa sampai ke tujuan, mengirim barang bisa dilakukan melalui jasa titipan kilat, tetapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah karena sang perantau ingin menginjakkan kakinya di tanah kelahiranya.Â
Mereka pula ingin bertatap muka, saling bersalaman, bersimpuh, dan saling berangkulan dengan keluarga di kampung halamann. Kalau tidak bertatap muka, maka terasa kurang afdol. Belum lagi mereka ingin bersilaturahmi kepada keluarga, rekan, dan sahabatnya di kampung halaman. Lalu mereka pun ingin menziarahi makam keluarga yang telah meninggal.
Dari konteks psikologis, mudik bisa menjadi sarana pemudik untuk menunjukkan eksistensinya di kampung halaman. Mereka pulang kampung sambil membawa kendaraan roda empat baru (walau kadang banyak yang merental juga), membawa sepeda motor baru, atau gaya hidup baru. Intinya, mereka menunjukkan bahwa mereka sukses usaha di kota. Dan inilah yang menjadi daya tarik orang-orang kampung untuk pergi mengadu nasib ke kota.
Apakah kemacetan parah selama masa mudik dan balik akan membuat orang kapok untuk mudik pada lebaran tahun depan? Menurut saya, hal tersebut tidak akan membuat kapok mereka, apalagi yang punya waktunya libur panjangnya hanya satu kali dalam satu tahun bertepatan dengan hari-hari besar keagamaan.Â
Orang yang cukup sering libur dan cukup sering pulang ke kampung halaman saja, saat lebaran pasti dia akan menyempatkan mudik, karena hal tersebut merupakan hal yang sakral bagi mereka. Jumlah pemudik dari tahun ke tahun dengan menggunakan berbagai moda transportasi justru semakin meningkat.
Lalu bagaimana menyiasati supaya mudik bisa dilakukan dengan nyaman? Sebenarnya para pemudik sudah cukup menyiasatinya seperti membeli tiket (PP) kereta api (mudik dan balik) beberapa bulan sebelum mudik, sehingga kadang tiket kereta api sudah ludes sebelum puasa. Barang-barang, kendaraan roda dua dipaketkan, uang pun sudah ditransfer dan disimpan di bank. Jika diperlukan, tinggal ambil saja di ATM. Bahkan saat ini sudah ada aplikasi dompet digital untuk membayar berbagai keperluan.
Sepintas, saya pun berpikir bahwa silaturahmi bukan hanya dilakukan waktu lebaran saja, tetapi bisa dilakukan di waktu-waktu lainnya, perjalanan untuk silaturahmi ke keluarga di sebuah daerah, justru banyak waktu terbuang di jalan. Bisa berjam-jam secara akumulatif saat pergi dan pulang. Kadang waktu silaturahminya justru hanya beberapa jam saja, tapi itulah nikmatnya bersilaturahmi. Bisa bertemu dengan orang yang telah lama tidak bertemu.
Bukankah mendoakan orang yang telah meninggal bisa dilakukan setelah salat lima waktu, tidak harus berziarah secara langsung? Bukankah uang dan barang bisa dikirimkan? Tidak perlu diantar langsung? Semua pertanyaan yang terlihat logis dan kritis tersebut dapat dipatahkan satu jawaban yang sederhana, yaitu kerinduan terhadap kampung halaman, dan itu hal yang tidak bisa dibeli dengan harta. Â
Menurut saya, hal yang perlu dilakukan adalah bukan membatasi orang untuk mudik, tetapi tata kelolanya yang harus ditingkatkan seperti jalan, stasiun, bandara, dan pelabuhan, serta kesiapan dan kesigapan petugas dalam melayani pemudik, karena hal-hal tersebut menjadi urat nadi arus mudik dan balik lebaran. Walllaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H