Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mensenyawakan Semangat Puasa dan Idul Fitri

4 Juni 2019   12:04 Diperbarui: 4 Juni 2019   12:09 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ibadah puasa mendidik umat Islam untuk memiliki sekian banyak karakter baik, seperti disiplin, tepat waktu, tanggung jawab, konsistensi, sabar, mengendalikan diri, toleran, dermawan, peduli terhadap orang lain, dan sebagainya. Dengan catatan, pelajaran itu hanya akan didapatkan oleh yang melaksanakannya secara serius, bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Dan muara dari ibadah puasa yang berkuaitas adalah meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt.

Hakikat idulfitri adalah kembali kepada kesucian. Saat datangnya idulfitri, umat Islam bergembira setelah sebulan lamanya berpuasa. Masjid dan lapangan penuh sesak oleh Umat Islam yang akan melaksanakan salat Id.

Takbir pun berkumandang memuji kebesaran Allah. Setelah salat Id, dilanjutkan saling bersalaman dan saling memaafkan dari semua salah dan dosa. Keluarga pun berkumpul, dilanjutkan sungkeman. Sungkem dari istri kepada suami, anak kepada orang tua, adik kepada kakak, atau orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua.

Hidangan lebaran tersaji dan disantap bersama-sama. Setelah itu, bersilaturahmi kepadat tetangga dan handai taulan. Ziarah kubur pun tidak lupa dilakukan untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal sekaligus juga mengingat kematian bagi yang masih hidup.

Hari idulfitri menjadi hari yang penuh kedamaian. Mengapa demikian? Karena pada hari itu kata "maaf" menjadi kata yang sangat mudah diucapkan.

Meminta dan memberi maaf antara yang satu dengan lain disertai wajah yang ceria dan senyum yang mengembang. Kadang juga disertai pelukan, tangisan bahagia, dan tangisan haru karena teringat kepada anggota keluarga yang tidak bisa mudik, sedang dirawat di rumah sakit, atau yang telah meninggal dunia sehingga tidak dapat merayakan idulfitri bersama-sama.

Sungguh sangat luar biasa pelajaran dari puasa dan idulfitri. Ibaratnya umat Islam kembali ke titik nol. Oleh karena itu, diharapkan mampu bertransformasi menjadi manusia yang semakin bertakwa dan semakin berakhlak mulia setelah sebulan lamanya digembleng melalui puasa di bulan Ramadan, dan hal ini dapat terlihat dalam perkataan, sikap, dan perbuatannya pascaramadan.

Hal ini dapat dilakukan jika seorang muslim mampu mensenyawakan semangat puasa dan idulfitri dalam dirinya. Rajin beribadah, rajin bersedekah, rajin atau melakukan amal-amal ibadah lainnya bukan hanya pada bulan Ramadan saja, tetapi juga pada 11 bulan berikutnya.

Dan hal tersebut tidak mudah. Diperlukan konsisten (istikamah) dalam pelaksanaannya. Istikamah, sebuah kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan.

Mengapa? Karena penuh dengan tantangan dan godaan.

Manusia sebagai hamba Allah lemah dibalik sisi baiknya untuk taat kepada Allah, juga ada sisi buruknya, yaitu cenderung melanggar aturan dan tergoda setan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan supaya setiap manusia untuk berdoa dan berupaya menjauhkan diri dari godaan setan.

Idulfitri menjadi momentum yang pas untuk membangun rekonsiliasi, saling memaafkan, tidak mempersoalkan kembali masalah yang pernah terjadi disertai dengan mengambil hikmah dari masalah tersebut agar tidak terjadi lagi di kemudian hari, merekatkan kembali tali persaudaraan atau tali persahabatan yang pernah terputus atau pernah renggang akibat kesalahpahaman, dan sebagainya.

Hal ini dapat terjadi jika ada kesiapan hati dan kebesaran jiwa dari setiap orang yang pernah memiliki masalah untuk mau melakukannya. Pada saat pulang dari perang badar yang begitu dahsyat, Rasulullah Saw mengingatkan kepada para sahabat bahwa ada perang yang lebih besar dan perang badar, yaitu perang melawan hawa nafsu.

Hawa nafsu memang akan membawa manusia ke dalam keburukan. Rasa dendam, sakit hati, dan egois yang masih bersemayam dalam kalbu tidak dapat dipungkiri adalah salah satu bentuk manusia belum dapat menahan hawa nafsu atau belum mampu mengalahkan dirinya sendiri.

Idulfitri juga bukan ajang untuk pamer atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut tidak disukai oleh Allah Swt. Mungkin saja sikap pamer tersebut justru akan menyakitkan bagi orang yang tidak mampu.

Sikap berlebih-lebihan menjurus kepada kemubaziran. Dalam Alquran, Allah Swt telah mengingatkan bahwa orang-orang yang suka melakukan hal yang mubazir sebagai kawannya setan.

Semoga semangat puasa dan idulfitri tidak menguap begitu saja, tetapi dapat bersemayam sekaligus bersenyawa dalam setiap kalbu umat Islam pascaramadan dan menjadikannya sebagai manusia-manusia yang memiliki jiwa dan semangat baru untuk menjadi manusia yang semakin baik dan semakin bermanfaat bagi yang orang lain, bukan hanya sekedar memakai pakaian, sandal, sepatu, dan asesoris lainnya yang serba baru yang suatu saat akan usang juga. Aamiin yra...

Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Penulis Buku Aku, Ramadan, dan Literasi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun