Idulfitri menjadi momentum yang pas untuk membangun rekonsiliasi, saling memaafkan, tidak mempersoalkan kembali masalah yang pernah terjadi disertai dengan mengambil hikmah dari masalah tersebut agar tidak terjadi lagi di kemudian hari, merekatkan kembali tali persaudaraan atau tali persahabatan yang pernah terputus atau pernah renggang akibat kesalahpahaman, dan sebagainya.
Hal ini dapat terjadi jika ada kesiapan hati dan kebesaran jiwa dari setiap orang yang pernah memiliki masalah untuk mau melakukannya. Pada saat pulang dari perang badar yang begitu dahsyat, Rasulullah Saw mengingatkan kepada para sahabat bahwa ada perang yang lebih besar dan perang badar, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Hawa nafsu memang akan membawa manusia ke dalam keburukan. Rasa dendam, sakit hati, dan egois yang masih bersemayam dalam kalbu tidak dapat dipungkiri adalah salah satu bentuk manusia belum dapat menahan hawa nafsu atau belum mampu mengalahkan dirinya sendiri.
Idulfitri juga bukan ajang untuk pamer atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut tidak disukai oleh Allah Swt. Mungkin saja sikap pamer tersebut justru akan menyakitkan bagi orang yang tidak mampu.
Sikap berlebih-lebihan menjurus kepada kemubaziran. Dalam Alquran, Allah Swt telah mengingatkan bahwa orang-orang yang suka melakukan hal yang mubazir sebagai kawannya setan.
Semoga semangat puasa dan idulfitri tidak menguap begitu saja, tetapi dapat bersemayam sekaligus bersenyawa dalam setiap kalbu umat Islam pascaramadan dan menjadikannya sebagai manusia-manusia yang memiliki jiwa dan semangat baru untuk menjadi manusia yang semakin baik dan semakin bermanfaat bagi yang orang lain, bukan hanya sekedar memakai pakaian, sandal, sepatu, dan asesoris lainnya yang serba baru yang suatu saat akan usang juga. Aamiin yra...
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Penulis Buku Aku, Ramadan, dan Literasi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H