Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Integrasi K-13, PPK, dan GLS pada SPMI di Satuan Pendidikan

29 Mei 2019   10:05 Diperbarui: 29 Mei 2019   10:53 20395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

INTEGRASI K-13, PPK, DAN GLS PADA SPMI DI SATUAN PENDIDIKAN

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara Ahli Madya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)

 

Pendidikan abad 21 mensyaratkan pembelajaran kooperatif, kolaboratif, menguasai teknologi, informasi, dan komunikasi. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan harus mampu mengantisipasi sekaligus menyelenggarakan layanan pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman.

Berdasarkan kepada hal tersebut, maka sekolah harus meningkatkan mutu layanan pendidikan. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengamanatkan bahwa "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Lalu pada pasal 11 dinyatakan bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi."

Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP). Penjaminan mutu pendidikan adalah amanat Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal ayat (3) dinyatakan bahwa "Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional."

Hal ini dipertegas dalam Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada pasal 91 ayat (1), (2), dan (3) dinyatakan bahwa; (1) Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan; (2) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan; (3) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.

Dalam upaya mencapai SNP, Mendikbud menerbitkan Permendikbud Nomor 28 tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) Dasar dan Menengah. Pada pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan."

SPMP terdiri dari dua bentuk, yaitu; (1) Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan (2) Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Pasal 1 ayat (4) Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 menyatakan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Internal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang selanjutnya disingkat SPMI-Dikdasmen adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dasar dan satuan pendidikan menengah untuk menjamin terwujudnya pendidikan bermutu yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan."

Lalu pasal 1 ayat (5) menyatakan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Eksternal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang selanjutnya disingkat SPME-Dikdasmen, adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses yang terkait untuk melakukan fasilitasi dan penilaian melalui akreditasi untuk menentukan kelayakan dan tingkat pencapaian mutu satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah." 

Kedua sistem tersebut saling terkait, sama-sama penting, dan sama-sama diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, tetapi hal yang paling utama adalah penjaminan mutu yang dilakukan oleh sekolah. SPMI membangun semangat kesadaran terhadap pentingnya budaya mutu dan perbaikan mutu berkelanjutan.

SPMI melibatkan warga sekolah mulai dari Kepala Sekolah, Guru, Staf, siswa, Komite Sekolah, orang tua siswa, dunia usaha dan dunia industri (DUDI), di bawah binaan atau pendampingan pengawas sekolah. Berbagai pihak tersebut diharapkan duduk bersama, memikirkan dan menyusun berbagai program peningkatan mutu sekolah.

Kurikulum 2013

Integrasi Kurikulum 2013 (K-13) dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), utamanya berkaitan dengan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang berhubungan dengan empat standar akademik, yaitu; (1) standar kelulusan (SKL), (2) standar isi, (3) standar proses, dan (4) standar penilaian. Keempat standar tersebut dijabarkan dalam indikator dan subindikator pada instrumen Pemetaan Mutu Pendidikan (PMP). Hasil pengisian instrumen PMP lalu menjadi rapor mutu satuan pendidikan. Berbagai indikator atau subindikator yang nilainya masih rendah atau belum mencapai SNP, perlu dipenuhi atau ditingkatkan berdasarkan skala prioritas melalui program yang disusun dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS).

Pada kurikulum 2013 ditekankan penanaman aspek sikap dengan tetap memperhatikan aspek pengetahuan dan sikap. Hal ini tercermin pada Empat Kompetensi Inti (KI), yang meliputi KI-1 sikap spiritual, KI-II sikap sosial, KI-III pengetahuan, dan KI-IV keterampilan. KI merupakan kompetensi yang mengikat berbagai Kompetensi Dasar (KD) ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran. KI harus dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran Kompetensi Dasar yang diorganisasikan dalam pembelajaran tematik integratif dengan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas.

Pada implementasi K-13 juga ditekankan tentang penerapan pendekatan santifik yang dikenal dengan 5M yang meliputi: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/ mengasosiasikan, dan mengomunikasikan. Kemudian membekali peserta didik dengan kemampuan abad 21 (4C) yang meliputi: communication (komunikasi), collaboration (kolaborasi), critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), creative and innovative (kreatif dan inovatif).

Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran harus merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS) dimana peserta didik bukan hanya diberikan pelajaran pada ranah C-1 (pengetahuan), C-2 (pemahaman), dan C-3 (aplikasi/ penerapan) yang dikategorikan sebagai ranah keterampilan berpikir tingkat rendah (lower order thinking skills/LOTS), tetapi pada ranah C-4 (analisis), C-5 (evaluasi), dan C-6 (mencipta). Pada aspek penilaian pun, guru harus menerapkan penilaian otentik atau penilaian apa adanya, objektif  dalam mengukur kemampuan siswa melalui berbagai jenis metode dan teknik penilaian.

Berbagai hal yang saya uraikan di atas merupakan hal erat kaitannya dengan standar-standar yang bersifat akademik. Pada implementasi SPMI, berbagai hal tersebut dipenuhi melalui tahapan: pemetaan mutu, penyusunan rencana pemenuhan mutu, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemenuhan mutu, dan penyusunan strategi baru pemenuhan mutu.

Guru merupakan sosok yang memegang peranan penting pada pemenuhan SNP yang berkaitan dengan akademik. Oleh karena itu, rekomendasi atau rencana pemenuhan mutu tidak akan lepas dari peningkatan mutu atau kompetensi guru. Dan tentunya perlu dipertimbangkan berdasarkan prioritas kemampuan sekolah khususnya dalam hal anggaran, walau peningkatan mutu guru tidak selalu identik dengan anggaran yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan, karena bisa saja dilakukan oleh guru secara mandiri.

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menjadi salah satu agenda penting dalam peningkatan mutu pendidikan. PPK melibatkan Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 menyatakan bahwa: "Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM)."

PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,

Sejalan dengan implementasi kurikulum 2013, PPK diintegrasikan ke dalam kegiatan seperti; pembiasaan, proses pembelajaran (intrakurikuler), kokurikuler, dan kegiatan ekstrakurikuler. Dan yang paling utama, agar PPK ini dapat berhasil dengan baik, diperlukan keteladanan dari orang tua, guru, pemimpin, dan orang dewasa lainnya, karena PPK minus keteladanan  adalah yang ironis sekaligus kontraproduktif. Sebuah pepatah bijak mengatakan "satu perbuatan lebih utama daripada 1000 nasihat." Hal itu menunjukkan pentingnya sebuah keteladanan dalam proses pendidikan karakter.

Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), pendidikan karakter bisa menjadi ruh dalam pelaksaaan SPMI. Menurut Apandi (2018 : 135-137), ada nilai-nilai karakter yang ditanamkan dari pelaksanaan SPMI, antara lain : (1) sadar budaya mutu, (2) kolaborasi dan sinergi, (3) berjiwa pembelajar, (4) kerja keras, (5) komunikasi efektif, (6) berjiwa reflektif.

Pertama, sadar budaya mutu. Saat ini, mutu menjadi suatu hal yang sangat penting dalam membangun daya saing. Ada perusahaan yang maju pesat karena kreatif, inovatif, dan terus meningkatkan mutu, baik mutu produk, maupun mutu layanan. Tetapi ada juga yang colaps bahkan bangkrut karena tidak kreatif, inovaif, dan tidak mampu menjaga mutunya.

Begitupun dengan sekolah. Saat ini diakui atau tidak, persaingan sekolah untuk meraih kepercayaan masyarakat semakin ketat. Masyarakat, utamanya yang relatif berpendidikan menengah ke atas semakin kritis dalam menilai mutu sekolah. Ada sekolah yang diburu oleh masyarakat, bahkan sebelum datang tahun pelajaran baru, sudah banyak yang mendaftar dan waiting list, tetapi ada sekolah jumlah muridnya semakin menurun, bahkan terpaksa ditutup karena sudah tidak mampu lagi beroperasional.

Agar sekolah mampu bertahan dan diminati masyarakat, maka harus terus meningkatkan mutunya, baik mutu pendidik dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana, mutu pembelajaran, mutu kegiatan ekstrakurikuler, maupun mutu lulusannya. Mutu sekolah setidaknya terlihat dari prestasi sekolah, baik prestasi akademik maupun nonakademik.

Kedua, kolaborasi dan sinergi. Proses penjaminan mutu di sekolah tidak hanya mengandalkan pihak-pihak tertentu saja, tetapi memerlukan peran serta atau partisipasi semua warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, staf, dan komite sekolah. Dengan kata lain perlu ada kolaborasi dan sinergi diantara semua pihak. Adapun TPMPS menjadi leading sector yang menangani pelaksanaan berbagai program penjaminan mutu di sekolah. Tanpa bantuan dari semua warga sekolah, peran TPMPS tidak akan optimal.

Kata kuncinya adalah KOMITMEN bersama. Komitmen mudah untuk diucapkan, tetapi dalam pelaksanaannya sulit karena dihadapkan pada tantangan dan godaan. Oleh karena itu, perlu kesadaran semua pihak terkait untuk menghormati dan melaksanakan komitmen yang telah disepakati. Pada awal pelaksanaan SPMI, setiap sekolah membuat komitmen dan fakta integritas yang ditandatangani oleh semua warga dan dipampang di dinding sekolah. Dan pertanyaannya adalah apakah komitmen itu ditindaklanjuti dengan aksi nyata atau tidak?

Ketiga, berjiwa pembelajar. Pelaksanaan SPMI di sekolah dapat disikapi secara positif, yaitu semua warga sekolah didorong untuk belajar mekanisme penjaminan mutu. Disamping membaca berbagai sumber belajar, mereka pun dapat mengundang orang yang paham tentang penjaminan mutu ke sekolah, atau berdikusi dengan sesama rekan terkait dengan penjaminan mutu. Dengan demikian, maka sekolah menjelma menjadi organisasi pembelajar. Sekolah sebagai organisasi pembelajar akan menumbuhkan iklim yang kondusif  dalam peningkatan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan.

Keempat, kerja keras. Untuk mewujudkan sekolah yang bermutu, tentunya memerlukan kerja keras semua pihak. Pengorbanan pastinya juga perlukan. Minimal pengorbanan waktu dan tenaga, tidak dipungkiri juga pengorbanan biaya. Ibarat menanam pohon jati, hasil dari kerja keras kadang tidak dapat dirasakan dalam waktu dekat, tetapi perlu waktu lama untuk merasakannya.

Kelima, komunikasi efektif. SPMI merupakan kerja tim, bukan kerja yang dilakukan oleh segelintir orang. Dalam pelaksanaannya memerlukan komunikasi efektif antarberbagai pihak yang terkait. Saling pengertian dan saling memahami mutlak diperlukan. Warga sekolah tidak saling mengandalkan dalam melaksanakan pekerjaan, dan tidak saling menyalahkan ketika ada masalah, tetapi dievaluasi mengapa masalah tersebut terjadi? Apa penyebabnya? Dan apa alternatif solusi yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah?

Keenam, berjiwa reflektif. Penjaminan mutu merupakan sebuah siklus yang berlangsung secara berkelanjutan. Dari satu siklus ke siklus berikutnya perlu dilakukan refleksi, mana hal yang sudah tercapai, dan mana yang belum tercapai. Sejauh mana pelaksanaan komitmen yang telah dibuat? apakah sudah dilaksanakan oleh semua warga sekolah atau masih ada yang perlu diingatkan dan mendapatkan pembinaan?

Refleksi juga perlu dilakukan agar semua warga sekolah dapat merenungkan sejauhmana peran dan kontribusinya dalam proses penjaminan mutu di sekolah. Kadang-kadang merefleksikan sendiri lebih nyaman dibandingkan dengan diingatkan oleh orang lain, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang egois, sulit untuk menerima kritik orang lain.

Selain sebagai ruh implementasi SPMI, pendidikan karakter pun dapat dijadikan sebagai bingkai penjaminan mutu pendidikan. Menurut Apandi (2018: 146-149), ada beberapa nilai karakter yang ditanamkan, antara lain;

Pertama, organisasi pembelajar. Satuan pendidikan yang melakukan penjaminan mutu pendidikan akan menjelma menjadi organisasi pembelajar. Warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, hingga staf administrasi memiliki semangat untuk mengetahui, memahami, dan melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dalam rangka mencapai 8 SNP.

Sebagai pembelajar, warga sekolah terbuka terhadap hal-hal baru sepanjang hal tersebut bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan yang berdampak terhadap peingkatan kinerja sekolah. Tujuan akhir dari layanan pendidikan adalah dihasilkannya lulusan yang kompeten dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk  mewujudkan hal tersebut, tentunya para pembeli layanan pendidikan, seperti kepala sekolah (layanan kepemimpinan dan layanan manajerial), guru (layanan pembelajaran) ditopang dengan staf administrasi (layanan administratif) harus kompeten.

Jantung dari layanan pendidikan di sekolah tentunya adalah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Oleh karena itu, pemerintah menyadari terhadap pentingnya peningkatan profesionalisme guru yang ditindaklanjuti dengan berbagai pelatihan, bimbingan teknis (bimtek) dan sebagainya. Hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah lahirnya guru yang berkualitas, kreatif, dan inovatif, serta mampu menyajikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.

Kedua, membangun komitmen. Peningkatan mutu pendidikan di satuan pendidikan memerlukan komitmen semua warga sekolah. Tidak hanya mengandalkan pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya, hal yang pertama kali harus dibangun adalah komitmen bahwa peningkatan mutu merupakan sebuah kebutuhan sekaligus tuntutan untuk meningkatkan daya saing satuan pendidikan.

Komitmen mudah diucapkan dan mudah disusun dengan menggunakan bahasa yang indah dan terlihat sangat bersemangat, tetapi kadang dalam pelaksanaanya tidak semudah sebagaimana yang tercantum dalam tulisan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masing-masing untuk menghormati dan melaksanakannya. Perlu pula saling mengingatkan agar komitmen yang telah dibuat tetap dijaga dan dipelihara agar tidak hanya sekedar indah di atas kertas.

Ketiga, membangun budaya gotong royong. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan seorang diri oleh kepala sekolah, tetapi memerlukan tim kerja (team work) yang solid dan kompak. Oleh karena itu, sekolah membuat Tim Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah (TPMPS) sebagai leading sector peningkatan mutu di satuan pendidikan.

Budaya gotong royong dan kerjasama dibangun dalam tim. Bekerja bersama dan sukses pun bersama. Jangan sampai ada ada yang capai bekerja sedangkan yang lain berleha-leha. Jangan sampai kesuksesan hanya diklaim oleh pihak tertentu saja. Hargai dan apresiasi sekecil apapun kontribusi yang diberikan oleh orang-orang yang berada dalam tim, agar muncul rasa bangga dan rasa memiliki terhadap tim. Sehingga hal ini dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi.

Gotong royong merupakan budaya bangsa yang perlu dilestarikan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah, satuan pendidikan, dan masyarakat perlu bergotong royong dan bersinergi dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu.

TPMPS adalah sebuah unit yang diharapkan perannya untuk dapat menjembatani komunikasi antara pihak sekolah dengan pemerintah, sekolah dengan komite sekolah, dan pihak sekolah dengan dunia usaha dan industri. Itulah sejatinya hakikat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sekolah diberikan kewenangan untuk mengelola sekolahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sekolah masing-masing.

Keempat, peningkatan mutu berkelanjutan. Implementasi sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan dapat memacu semangat untuk melakukan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Indikator-indikator mutu dicapai secara bertahap sesuai dengan skala prioritas sesuai hasil Evaluasi Diri Sekolah (EDS) atau rapot mutu. Program-program peningkatan mutu disusun secara demokratis dan partisipatif. Perlahan tapi pasti, mutu sekolah akan terus meningkat, dan sekolah akan memiliki daya saing. Sekolah yang memiliki daya saing tentunya akan semakin kompetitif dan semakin diminati masyarakat.

Dalam beberapa kunjungan saya ke beberapa daerah, diantaranya ada sekolah-sekolah yang telah bubar. Dan ternyata hal tersebut disebabkan oleh semakin minimnya jumlah siswa di sekolah tersebut. Hal ini tidak dipungkiri sebagai dampak semakin minimnya kepercayaan masyarakat atau munculnya sekolah-sekolah baru yang lebih berkualitas.

Di lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan ke atas, yang juga kritis dengan masalah mutu pendidikan, sekolah gratis tidak menjadi daya tarik utama untuk menyekolahkan anaknya. Yang dilihat adalah sejauh mana sekolah dapat memberikan layanan pendidikan berkualitas bagi anaknya, walau konsekuensinya harus membayar dengan biaya yang tidak murah.

Sebagai sebuah investasi, tentunya pendidikan adalah sebuah kegiatan yang memerlukan modal. Adanya kebijakan sekolah gratis diakui atau tidak telah mengurangi layanan kualitas pendidikan. Walau demikian, para sekolah yang menerapkan sekolah gratis, utamanya pada jenjang SD dan SMP tetap berupaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas di tengah banyak keterbatasan. Mereka memutar otak, gali lobang dan tutup lobang bagaimana operasional sekolah bisa terus berjalan walau tantangannya berat.

Kelima, belajar tertib administrasi. Pelaksanaan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan mendorong warga sekolah, utamanya TPMPS untuk tertib administrasi. Semua tahapan pelaksanaan penjaminan mutu didokumentasikan baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy. Hal ini selain sebagai bentuk tertib administrasi, juga sebagai bentuk akuntabilitas. Tertib administrasi juga akan memudahkan warga sekolah dalam mengakses berbagai dokumen yang diperlukan.

Pada saat pelaksanaan akreditasi, bukti-bukti fisik akan sangat membantu sekolah dalam menjawab pertanyaan tim assessor atau menunjukkan bukti pendukung kegiatan, sehingga tim assessor bisa yakin dan memberikan nilai yang objektif. Jadi, tidak akan ada lagi sekolah yang antara nilai akreditasinya dengan kondisi riilnya tidak sesuai.

Keenam, motif berprestasi. Melalui implemetasi sistem penjaminan mutu, satuan pendidikan didorong untuk meningkatnya prestasinya. Selain prestasi secara institusional, bukti nyata prestasi sekolah adalah pada prestasi siswa atau prestasi lulusannya, baik prestasi akademik, maupun prestasi non akademik. Oleh karena itu, TPMPS sangat disarankan untuk menulis praktik terbaik (best practice) yang isinya menceritakan kisah sukses sekolah dalam meningkatkan tata kelola, mutu, atau prestasi sekolah.

Ketujuh, integritas. Pelaksanaan penjaminan mutu di sekolah memerlukan kejujuran sekolah dalam melaksanakan setiap tahapan penjaminan mutu. Bahkan kejujuran menjadi fondasi penting dalam penjaminan mutu. Kejujuran atau integritas sekolah dalam melakukan EDS atau mengisi rapot mutu akan menjadi pintu gerbang peningkatan mutu sekolah. Tidak ada kekhawatiran sekolahnya akan dinilai berkinerja rendah, karena memang hasil EDS menunjukkan keadaan yang sebenarnya.

Berdasarkan kepada uraian di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa SPMI bukan hanya sekedar proses peningkatan mutu, tetapi sarat akan makna yang dapat diambil oleh semua warga sekolah, khususnya dalam penguatan pendidikan karakter.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

Gerakan literasi saat ini adalah sebuah kebutuhan yang mendesak, karena hasil dari berbagai kajian menunjukkan bahwa minat baca masyarakat masih rendah. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). (Kompas, 29/08/2016). Lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Berdasarkan hasil penelitian perpustakaan nasional tahun 2017, tata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. (Kompas, 26/03/2018).

Berdasarkan kepada hal tersebut, Kemdikbud melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Tujuannya adalah untuk menumbuhkan dan membumikan budaya literasi di sekolah. Minat baca harus di tanamkan sejak dini. Gerakan literasi di sekolah bukan hanya difokuskan kepada siswa, tetapi semua warga sekolah. Kepala Sekolah, guru, dan staf harus mendukung dan memberikan contoh rajin membaca.

Pengertian Literasi Sekolah dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan bagian Gerakan Literasi Nasional (GLN). Gerakan literasi merupakan salah satu bentuk penumbuhan budi pekerti. Hal ini didasarkan kepada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan Budi Pekerti. GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan.

Tujuan Umum dari GLS adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sedangkan tujuan khususnya sebagai berikut: (1) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah, (2) Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat, (3) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan, (4) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.

Adapun tahapan dari GLS adalah; (1) pembiasaan berupa penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca, (2) pengembangan berupa meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, dan (3) pembelajaran dalam bentuk meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran, menggunakan buku pengayaan, dan strategi membaca di semua mata pelajaran. (Kemdikbud, 2016).

Ada enam jenis literasi dasar yang saat ini dijadikan sebagai pilar dari gerakan literasi, yaitu; (1) literasi baca-tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi finansial, (4) literasi sains, (5) literasi budaya dan kewarganegaraan, dan (6) literasi teknologi, informasi, dan komunikasi.

Keenam literasi dasar tersebut dapat dikembangkan ke dalam berbagai jenis literasi, karena pada berbagai kehidupan manusia tidak akan lepas dari dunia literasi. Mengapa demikian? Karena hakikat dari literasi adalah kemelekkan terhadap berbagai informasi. Orang yang melek terhadap informasi akan memiliki wawasan yang luas dan bersikap kritis dalam menyikapi sebuah informasi. Apalagi saat ini di media sosial banyak sekali hoaks yang beredar. Orang yang literat tentunya tidak dengan mudah menerima sebuah informasi, tetapi disaring, cek dan ricek, diverifikasi, atau diklarifikasi kebenarannya. Dan kalaupun benar, dia tidak mudah menyebarkannya jika tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan, gerakan literasi merupakan bagian dari SPMI. Proses pendidikan tidak lepas dari aktivitas membaca dan menulis. Pengetahuan baru didapatkan melalui membaca berbagai referensi. Kegiatan menulis pun membutuhkan aktivitas membaca, karena bahan yang ditulis tentunya adalah hasil yang dibaca.

Pendidik dan tenaga kependidikan yang rajin membaca dan menulis adalah orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam proses penjaminan mutu pendidikan, minimal mereka menjamin untuk meningkatkan kompetensi dirinya sendiri. Dari peningkatan kualitas pribadi diharapkan akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan secara umum. Dengan dibangunnya semangat literasi di sekolah, maka setiap warga sekolah menjadi sosok pembelajar, dan otomatis telah berkontribusi dalam mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajar.

Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan, sekolah sebagai organisasi pembelajar adalah organisasi yang semua warganya memiliki komitmen dalam melakukan penjaminan mutu dalam rangka mencapai 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang prosesnya diawali dengan melakukan melakukan Evaluasi Diri Sekolah, memetakan mutu SNP, mengidentifikasi SNP yang paling lemah dan mendesak untuk ditingkatkan, membuat rencana pemenuhuan mutu, melaksanakan pemenuhan mutu, melakukan audit, hingga menetapkan strategi pemenuhan mutu yang baru. Dan hal itu merupakan sebuah siklus.

Dalam proses penjaminan mutu tersebut, tentunya tidak akan lepas dari budaya literasi, karena setiap warga sekolah harus mengetahui dan memahami tupoksinya masing-masing yang tentunya diperoleh melalui proses membaca untuk selanjutnya membuat berbagai langkah atau SOP dalam menjamin mutu pendidikan di sekolahnya.

K-13 (SNP yang berkaitan dengan standar akademik), PPK, dan literasi merupakan sebuah kesatuan, saling mewarnai, saling melengkapi, dan saling berkontribusi antara satu dengan yang lainnya dalam implementasi SPMI di satuan pendidikan dalam rangka mencapai SNP. Dengan demikian, ketiga hal tersebut terintegrasi dalam implementasi SPMI. Oleh karena itu, SPMI perlu dilakukan secara optimal oleh semua warga sekolah dengan dimotori oleh TPMPS.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sukses implementasi SPMI di satuan pendidikan dapat dicerminkan dari sukses implementasi K-13, PPK, dan literasi, karena implementasi SPMI yang baik akan terlihat dari komitmen, kerja keras, sinergi, kolaborasi, minat, dan semangat warga sekolah menjadi manusia pemelajar, sehingga hal ini akan berkontribusi dalam mewujudkan sekolah sebagai organisasi pemelajar. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun