Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Pascaaksi unjuk rasa di Bawaslu menolak hasil pemilu 2019 yang diumumkan oleh KPU tanggal 21 Mei 2019 dini hari, di berbagai grup media sosial khususnya WA berseliweran berbagai pernyataan, berita, gambar, dan video yang menginformasikan atau memperlihatkan bentrok dan kerusuhan di Jakarta. Sepintas saya pun membaca dan melihatnya. Setelah saya membacanya, saya tidak memforward-nya. Cukup di HP saya saja, karena disamping hal tersebut belum tentu benar, juga saya merasa ngeri dengan foto-foto dan video korban yang tanpa sensor. Ada orang menggelepar dengan darah mengucur dari tubuhnya. Konon itu adalah korban penembakan oknum aparat Polri, walau pihak Polri pun telah mengklarifikasi bahwa polisi tidak dibekali peluru tajam dalam menghalau demonstran.
Beberapa hari yang lalu seorang guru di Garut ditangkap oleh aparat kepolisian karena menyebarkan hoaks yang berisi undangan untuk melakukan pengeboman di Jakarta tanggal 21-22 Mei 2019. Seorang guru minimal berpendidikan S-1, seorang sarjana, seharusnya jauh lebih logis dan kritis dalam menerima sebuah informasi, tapi kadang masih tertipu dengan hoaks. Tidak dapat dipungkiri, di grup-grup WA yang isinya kalangan terdidik, kalangan akademisi, mulai yang pendidikan S-1, S-2, S-3, bahkan profesor pun, berita yang isinya hoaks banyak bermunculan. Isi berita Hoaks rata-rata terkait SARA dan politik, apalagi pascakasus penistaan agama tahun 2017 yang membuat Ahok dipenjara, terus pilpres 2019 yang tensinya semakin panas.
Masalah SARA dan politik memang telah membuat orang kehilangan nalar berpikir, semakin reaktif, dan cenderung semakin emosional. Pemilu capres-cawapres yang hanya terdiri dari dua pasangan menyebabkan publik semakin terbelah dan terpolarisasi. Istilah cebong dan kampret menjadi identitas bagi sesama pendukungnya.
Menurut saya, pemilu 2019 adalah pemilu terketat dan terpanas pascareformasi. Mulai dari tahapan kampanye, tahapan pencoblosan, tahapan penghitungan suara, hingga penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU berjalan ketat. Debat demi debat mewarnai prosesnya yang kadang membuat publik di satu sisi merasa jenuh, dan disisi lain ada merasa tertarik mengikutinya. Dugaan kecurangan dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu beserta aparat menyeruak di kalangan masyarakat yang berdampak terhadap munculnya aksi unjuk rasa sebagian masyarakat.
Munculnya hoaks yang disebarkan oleh orang berpendidikan selevel guru tentu sangat disesalkan. Hingar bingar politik lokal dan nasional memang membuat semua kalangan termasuk guru untuk ikut membicarakannya. Kadang bukan hanya sebagai penyebar, tapi juga sebagai pembuat hoaks itu sendiri.
Dengan tidak bermaksud mendeskreditkan profesi guru, banyak hoaks yang beredar di WA grup yang isinya guru atau tenaga kependidikan sebagai bukti bahwa tingkat literasi di kalangan guru masih rendah. Penangkapan seorang guru di Garut dan penangkapan yang dilakukan terhadap guru atau tenaga kependidikan terkait dengan politik perlu menjadi bahan evaluasi bersama agar hal tersebut tidak terjadi kembali.
Apakah guru tidak wajib melek politik? Guru wajib melek politik dalam konteks mengedukasi para peserta didik dan masyarakat secara umum bahwa tujuan politik, utamanya politik praktis sejatinya mulia yaitu untuk mencapai kekuasaan dan menggunakannya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.