Dengan kata lain, diakui atau tidak, profesi guru masih menjadi profesi kelas dua di negeri ini. Ada mahasiswa yang kuliah ke prodi keguruan karena tidak diterima di prodi ilmu-ilmu murni. Ada sarjana nonkeguruan yang menjadi guru karena tidak tertampung di dunia kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Masih rendahnya kualitas guru sering menjadi sorotan. Hal ini setidaknya terlihat dari rendahnya hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) dan masih rendahnya kualitas lulusan sebagai produk proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sedangkan dana puluhan trilyun digelontorkan untuk membayar Tunjangan Profesi Guru (TPG) belum mampu meningkatkan kualitas guru. Walau demikian, mutu pendidikan sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh mutu guru saja, tetapi juga ditentukan oleh hal lain, seperti kurikulum, sarana dan prasarana, dan pendanaan.
"Banyak generasi millenial yang potensial dan cerdas justru tidak tidak tertarik menjadi guru. Kalau realitanya demikian, harapan untuk mendapatkan guru yang berkualitas seperti halnya di negara seperti Finlandia atau Korea Selatan sulit untuk terwujud."
Munculnya resistensi terhadap wacana Menko PMK Puan Maharani untuk mengundang (atau di media banyak disebut mengimpor) guru luar negeri oleh sebagian pendidik menurut saya menjadi ironi ditengah rendahnya minat generasi millenial menjadi guru, karena di satu sisi menolak kehadiran guru asing dengan berbagai alasan, sedangkan di sisi lain, minat pelajar yang prestasi akademiknya menonjol menjadi guru rendah.
Berdasarkan klarifikasi dari Mendikbud Muhadjir Effendy, rencana mengundang guru atau pelatih dari luar negeri bertujuan untuk melatih guru-guru dalam bentuk Training of Trainer (ToT). Guru yang didatangkan dari luar negeri  akan lebih fokus pada untuk mendidik guru pada pendidikan vokasi dan Balai Latihan Kerja (BLK). Hal ini untuk menyikapi revolusi industri 4.0 dan menyiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045.
Hal ini dianggap lebih efisien dibandingkan memberangkatkan guru kursus ke luar negeri, walau tetap program pengiriman guru ke luar negeri akan dilaksanakan. Setelah tahun 2019 Kemdikbud memberangkatkan sebanyak 1200 orang guru, terget berikutnya adalah memberangkatkan 7000 orang guru ke luar negeri.
Pertanyaannya adalah bagaimana meningkatkan minat generasi millenial menjadi guru? menurut saya, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain; (1) jadikan guru sebagai profesi yang ekslusif, elit, terhormat, dan mendapatkan upah yang tinggi dari negara. Hal ini bukan mendidik guru untuk matre, tetapi sebagai bentuk apresiasi dan kompensasi terhadap profesionalismenya.
Kadang ironis, saat ada lulusan sebuah sekolah telah sukses menjadi "orang" bersilaturahmi ke sekolah dengan penampilan perlente dan menggunakan kendaraan yang bagus.Â
Melihat hal tersebut, disamping bangga, ada perasaan minder dari guru, khususnya guru honorer, karena dia merasa kalah sejahtera dibandingkan muridnnya, sedangkan murid-muridnya karirnya telah maju pesat.Â
Hal ironis lainnya adalah saat guru suka memotivasi murid-muridnya untuk melanjutkan pendidikan dan meraih cita-citanya, dia sendiri kesulitan menguliahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, walau kadang tertatih-tatih dengan segala daya dan upaya akhirnya dapat juga menguliahkan anaknya.
(2) lulusan LPTK terbaik prioritaskan untuk diangkat menjadi guru, tidak perlu dites lagi. Untuk menjadi guru, seorang calon guru harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.Â