Suatu saat di koridor sebuah kantor, seorang pemimpin dengan seorang staf berpapasan. Tanpa basa-basi, dengan nada tinggi dan wajah yang kurang bersahabat, sang pemimpin langsung berkata kepada staf tersebut, "Kok datang terlambat sih? Ini jam berapa? Ingat aturan disiplin pegawai ya..." sang staf yang wajahnya tampak sendu menjawab, "Saya baru mengantar anak berobat ke RS pak. Dia masuk UGD tadi pagi." Mendengar hal tersebut, sang pemimpin tidak memberikan respon atau bertanya kepada staf. Dia langsung saja berlalu meninggalkan sang staf.
Wajah sang staf yang muram karena sedang bingung mencari biaya untuk pengobatan anaknya, bertambah muram dan ada raut kemarahan karena dihakimi secara sepihak oleh sang pemimpin, yang hanya melihat keterlambatannya semata, tanpa melihat penyebab keterlambatannya, dan tidak berempati terhadap musibah yang dialami oleh sang staf.
Sang staf pun masuk ke ruang kerjanya dengan wajah yang kesal. Dia tampak kurang bersemangat dalam bekerja, karena secara fisik badannya berada di kantor, tetapi hatinya melayang memikirkan anaknya yang sedang terbaring sakit di rumah sakit, dan sore hari dia harus membawa sejumlah uang untuk biaya berobat anaknya tersebut.
Awalnya dia berpikir bahwa dia akan menyampaikan keluhannya kepada atasannya, tetapi sang atasan justru menghakiminya sebagai staf yang kurang disiplin.Â
Dalam pandangannya, sang atasan tidak lagi menjadi pemimpin yang bernilai atau bisa diharapkan, tetapi menjadi seorang pemimpin yang arogan dan kurang berempati terhadap kondisi staf.
Cerita tersebut di atas mungkin saja terjadi di tempat kita bekerja. Akibatnya, hubungan atau komunikasi antara atasan dan bawahan kurang kondusif. Yang terjadi hanya kekakuan komunikasi, saling mencurigai, kurang saling menghargai dan saling menghormati.
Tugas seorang pemimpin adalah memimpin, membina, mengarahkan, dan menegakkan aturan. Tugasnya membina staf bukan hal yang mudah, karena dihadapkan pada beragam karakter yang memerlukan pendekatan yang beragam pula. Intinya, seorang pemimpin harus memiliki seni atau kemampuan komunikasi dan negosiasi yang sesuai dengan karakter staf yang dibinanya, agar bisa mencapai tujuan secara efektif.
Oleh karena itu, dalam konteks pembinaan staf, seorang pemimpin haruslah orang yang terpilih yang memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan staf-stafnya, utamanya kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, dan kompetensi sosial. Jika seorang pemimpin memiliki tiga kompetensi tersebut, maka dia akan menjadi pemimpin yang bernilai di mata stafnya.
Seorang pemimpin yang bernilai dalam pandangan stafnya akan menjelma menjadi seorang pemimpin yang berwibawa dan dihormati oleh para stafnya. Dia bisa menjadi tumpuan harapan stafnya. Dia bisa menjadi sarana untuk menyampaikan curhat dan keluh kesahnya. Minimal staf memiliki saluran untuk melepaskan semua beban pikirannya, walau belum tentu ada solusi dari masalah yang disampaikannya.
Pemimpin yang bernilai adalah pemimpin yang mampu memberikan solusi, menyikapi dengan bijak setiap persoalan yang terjadi di lembaga yang dipimpinnya, bersikap adil, tidak diskriminatif, sehingga tidak ada staf yang merasa dianakemaskan atau dianaktirikan.Â
Perasaan diperlakukan tidak adil, diskriminatif, menjadi bibit-bibit konflik, atau bibit perpecahan antarstaf dalam sebuah lembaga. Ibarat api dalam sekam, jika dibiarkan, maka akan terus memanas dan akan membakar tempat di sekelilingnya. Dampaknya, pencapaian visi dan misi lembaga tidak berjalan secara solid lagi.