Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Apresiasi dan Kesehatan Mental

9 April 2019   14:19 Diperbarui: 9 April 2019   14:53 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kegiatan di berbagai tempat, saya sering bertemu dan berdiskusi dengan berbagai orang, khususnya yang berasal dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan. Banyak diantara mereka yang telah memiliki prestasi mulai dari level kabupaten/kota, provinsi, bahkan nasional. Di samping mereka menyampaikan pengalamannya mengikuti berbagai kegiatan, terselip kegundahan mereka berkaitan dengan rendahnya budaya apresiasi dari lingkungan unit kerja mereka sendiri. Dia mengeluh, ketika ada yang berprestasi, pimpinan dan rekan-rekan kerjanya "dingin-dingin"saja, pura-pura tidak tahu, bahkan justru ada yang nyinyir.

Keluhan tersebut bisa saja subjektif atau mungkin juga benar adanya. Intinya, dalam konteks psikologis setiap orang perlu eksistensi, aktualisasi, dan rasa bernilai di hadapan orang lain. Kalau mengacu kepada Teori Kebutuhan Maslow, level kebutuhan ini sudah masuk ranah yang lebih tinggi dari  kebutuhan dasar dan bersifat biologis, seperti sandang, pangan, dan papan.

Saat seseorang mendapatkan pretasi dalam bidang apapun, selain rasa syukur kepada Tuhan YME, ucapan selamat dari pimpinan, rekan kerja, sahabat, dan keluarga akan menambah rasa syukurnya. Jadi, ucapan selamat itu bukan hanya kalau ada seseorang lulus kuliah, wisuda, menikah, punya anak baru, punya rumah baru, atau punya kendaraan baru saja, tetapi untuk semua hal positif yang diraih oleh seseorang, perlu juga diberikan ucapan selamat sebagai bentuk apresiasi.

Kadang suka dibenturkan antara budaya apresiasi dengan sikap gila hormat dan gila pujian. Saya sendiri pernah punya pengalaman memosting di sebuah grup WA berkaitan dengan masalah budaya apresiasi. Baru beberapa saat diposting, langsung ada yang menanggapinya yang kurang lebih isi "hidup itu jangan gila hormat dan gila pujian, karena hal itu bisa merusak sebuah keikhlasan. Bekerja saja dengan sebaik-baiknya, tanpa berharap pujian dari orang lain."

Membaca hal tersebut, saya pun terhenyak dan merenung. Dalam hati saya bertanya, apa hubungannya antara budaya apresiasi dengan gila hormat atau gila pujian. Menurut saya, ini adalah dua hal yang berbeda. Yang satu bersifat positif dan yang satu bersifat negatif. Budaya apresiasi diberikan sebagai sebuah sikap sportif dan supportif, sedangkan gila hormat dan gila pujian adalah dua karakter yang buruk. Gila hormat dan gila pujian mendekatkan kepada kesombongan.

Gila hormat dan gila pujian identik dengan penghormatan terhadap kedudukan sosial atau jabatannya lebih tinggi serta sebuah obsesi terhadap pupolaritas. Orang yang gila hormat dan gila pujian akan tersinggung mana kala tidak ada yang menghormatinya karena merasa posisinya lebih tinggi dan patut dihormati. Orang yang gila pujian, dia melakukan suatu pekerjaan demi sebuah pujian, dan mana kala tidak ada yang memujinya, sia ngambek, tidak mau melakukannya lagi.

Pertanyaannya adalah bagaimana membedakan antara apresiasi sebagai budaya yang harus ditumbuhkan dengan gila hormat atau gila pujian yang justru harus dihindari? Hal ini memang bukan hal yang mudah. Sangat tergantung kepada motif dan isi hati masing-masing.

Orang yang tidak berharap apresiasi dapat dilihat dari konsistensinya melakukan sebuah kebaikan. Dengan atau tanpa apresiasi, dia akan terus bekerja. Saat ada orang yang mengapresiasinya, maka dia akan kembalikan hal tersebut Allah Swt, Dzat yang Maha Terpuji. Baginya, pujian atau apresiasi bukan tujuan, tetapi sebagai energi untuk menambah motivasi kerjanya. Berbeda dengan orang yang gila hormat atau gila pujian, dia hanya melakukan kebaikan kalau banyak yang menyanjungnya, sedangkan kalau tidak ada, maka dia pun akan berhenti melakukannya.

Bagaimana menjadi orang yang mudah mengapresiasi prestasi orang lain? kuncinya kepada hati yang bersih, sikap yang fair, dan sportif. Sikap gentle mengakui prestasi orang lain tidak akan menurunkan harga diri, tetapi akan menunjukkan sebagai pribadi yang dewasa. Berani mengapresiasi prestasi orang lain, akan membuat hati menjadi sehat, karena terhindar dari sifat iri dan dengki.

Begitu pun dengan orang yang diberi apresiasi, hati-hati, jangan sampai jadi jumawa alias sombong, karena salah satu godaan bagi orang yang berprestasi adalah sikap sombong dan merendahkan orang lain. Kembalikan semua pujian itu kepada Dzat Maha Terpuji, yaitu Allah Swt. Sikap low profil atau berfilosofi seperti ilmu padi akan membuat dirinya menjadi pribadi yang semakin disenangi. Orang yang berprestasi jangan pelit informasi. Bagilah tips-tipsnya agar yang lain pun dapat mengikuti jejaknya.

Dengan demikian, sikap berani mengapresiasi prestasi orang lain dan menyikapi pujian dengan sikap rendah hati akan membuat hati mental sehat, prestasi meningkat, dan persahabatan tetap erat. Wallaahu a'lam.

Ditulis oleh IDRIS APANDI (Prakatisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun