Dalam sebuah manajemen yang tertutup, ketika ada staf yang mempertanyakan atau mengkritisi kebijakan pimpinan, dicurigai sebagai kelompok oposisi, berbahaya, dan akan diberi label yang orang yang sulit untuk diajak kerjasama.Â
Akibatnya, karir sang staf "dibonsai", kurang diberikan kepercayaan, dan kurang diberikan ruang untuk mengembangkan profesinya.Â
Akibatnya terjadilah sikap merasa anaktirikan dan merasa diperlakukan diskriminatif. Jika hal tersebut terjadi, suasana kerja dalam sebuah organisasi tidak akan sehat atau tidak akan kondusif.Â
Dampaknya, motivasi kerja staf menurun, tidak ada motif berpestasi, kerja asal jadi atau asal selesai, tidak betah, dan ingin pindah ke tempat lain.
Untuk mengatasi hal tersebut, menurut saya, perlu dibangun sebuah komunikasi empatik humanistik antara pimpinan dan staf. Seorang pimpinan memanggil staf jangan hanya ketika ada kasus atau masalah saja, tetapi juga dalam konsisi dan situasi yang normal, walau hanya sekedar ngopi atau sarapan bersama.Â
Berikan ruang kepada staf untuk menyampaikan keluhan atau harapan-harapannya. Walau belum tentu ada solusi, tapi minimal sang staf sudah senang, merasa didengar, merasa diakui, dan merasa diperhatikan oleh sang pemimpin.
Budaya apresiasi pun perlu dikembangkan untuk membangun motivasi berprestasi staf. Kompetisi yang sehat, reward and punishment ditegakkan agar tercipta komitmen dan tanggung jawab dari setiap staf. Rasa diakui dan dimanusiakan akan menjadikan sang staf mengatakan "kantorku adalah surgaku." Wallaahu a'lam.
KANTORKU SURGAKU
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)