Pada pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa "Sistem Perbukuan diselenggarakan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika." Â Dengan demikan, maka sistem perbukuan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Lalu pada Pasal 42 ayat (5) dinyatakan syarat isi sebuah buku, yaitu : (a) tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, (b) tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, dan/atau antargolongan, (c) tidak mengandung unsur pornografi, (d) tidak mengandung unsur kekerasan; dan/atau (e) tidak mengandung ujaran kebencian.
Berdasarkan dua pasal di atas, maka jelas bahwa perbukuan sebagai sebuah sistem dan buku sebagai sebuah karya ilmiah harus memenuhi aturan tersebut. Tujuannya di samping menjaga kualitas, juga buku harus menjadi sumber ilmu pengetahuan, sebagai penguat ideologi bangsa, dan sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Penulis buku harus paham dan taat terhadap ketentuan yang telah tercantum dalam Undang-undang Sistem Perbukuan agar karyanya tidak melanggar hukum dan karyanya tidak dicekal.
Walau demikian, pada dasarnya setiap penulis memiliki kemerdekaan inetelektual untuk menuangkan semua ide dan gagasannya, tidak bisa dikekang atau dibatasi, karena negara pun harus menjamin hak dan kebebasan bagi setiap warga negaranya mengeluarkan pendapat, baik secara lisan atau pun secara tertulis.
Berilah ruang kepada kepada setiap penulis untuk berkarya dan berekspresi termasuk dalam membahas masalah-masalah yang sensitif seperti membahas komunisme dan Marxisme sebagai sebuah ilmu pengetahuan.
Buku-buku yang akan digunakan di lingkungan pendidikan biasanya dinilai kelayakannya oleh tim khusus Kemendikbud termasuk kaitannya dengan sejumlah syarat isi dari sebuah buku. Oleh karena itu, buku yang terpilih disamping berkualitas, juga bersih dari radikalisme, komunisme, SARA, pornografi, kekerasan, dan ujaran kebencian.
Menurut saya, jika pemerintah ingin mengantisipasi bahaya penyebaran radikalisme, komunisme, atau Marxisme, caranya bukan dengan merazia buku, apalagi tanpa ada putusan pengadilan, tetapi melalui proses pendidikan bela negara dan penguatan ideologi Pancasila, karena ketika ideologi Pancasila sudah tertanam dalam jiwa setiap bangsa Indonesia, maka dengan sendirinya negara akan memiliki ketahanan ideologi, tidak akan mudah goyah oleh berbagai paham yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konteks literasi, maka bangsa Indonesia haru dibuat melek melalui peningkatan minat baca, dimana salah satu bacaannya adalah berkaitan dengan penguatan jadi diri bangsa agar mereka dapat memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila.
Sama halnya dengan negara yang berpaham komunis seperti Cina dan Koreta Utara, mereka pun melakukan doktrin kepada setiap warga negaraya untuk menerima ideologi komunis sebagai ideologi yang paling tepat bagi bangsanya.
Begitu pun bagi Indonesia, masyarakat harus semakin diliteratkan berkaitan dengan pemahaman dan penghayatan ideologi Pancasila, sehingga mereka semakin yakin bahwa Pancasila merupakan ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia.